Revtwt News Headline Animator

Sunday, July 18, 2010

SUMMARY, ANALISA DAN KOMENTAR SISTEM KEUANGAN: PERBANKAN SYARIAH BERBASIS FLOATING MARKET

SUMMARY, ANALISA DAN KOMENTAR SISTEM KEUANGAN
M
A
K
A
L
A
H
JUDUL : PERBANKAN SYARIAH BERBASIS FLOATING MARKET
DIPRESENTASIKAN SEBAGAI TUGAS PADA
MATA KULIAH SISTEM FINANCIAL ISLAM
DOSEN PEMBIMBING: Prof. Dr. SOFYAN SYAFRI HARAHAP

Oleh : Ismul Azhari
Nim: 08 EKNI 1348

PASCA SARJANA IAIN SUMUT
2009-2010
PERBANKAN SYARIAH BERBASIS FLOATING MARKET

Oleh: Yusdani
Staf pengajar Fakultas Ilmu Agama Islam dan Peneliti
pada Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

A. PENDAHULUAN
Sistem ekonomi berbasis Syariah, belakangan ini makin populer bukan hanya di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara barat, yang ditandai dengan makin suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Di Indonesia perkembangan pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi muncul pada 1974. Tepatnya digagas dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat.
Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim. Akan tetapi, nampaknya perkembangan pemikiran dan pergumulan ijtihâd panjang dalam masalah hukum ‘bunga bank’ dan ‘zakat vs pajak’ tersebut tidak sia-sia, akhirnya membuahkan hasil yang melegakan dan memuaskan umat Islam Indonesia. Paling tidak, kalau boleh dikatakan ‘sebuah tonggak’ sejarah baru kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia, tepatnya pada hari Ahad, 3 November 1991 untuk pertama kalinya sebuah Bank Islam dilaunching pendiriannya di Istana Bogor yang Panitia Penyelenggaranya diketuai oleh Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz (sekarang Ketua Yayasan PINBUK) Bank Islam Indonesia ini selanjutnya diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Ketika itu, memang BMI menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan 150 juta umat Islam Indonesia. Bahkan harapan yang sangat besar untuk kapasitas Bank yang baru seumur jagung. Harapan yang tentunya sangat wajar jika dikaitkan dengan suasana emosional yang menghinggapi umat Islam yang sudah puluhan tahun bercitacita memiliki lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah yang sekaligus untuk mewujudkan ‘mimpi’ akan kebangkitan ekonomi 90% umat Islam yang hidup dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan baik di desa-desa maupun di kotakota besar.
Setelah BMI mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah pertama di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan mempraktekkan sistim syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Namun karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan pemerintah yang tangan-tangannya bahkan sampai masuk ke pelosok-pelosok desa dan kecamatan untuk menyedot dana masyarakat, membuat BMI hampir tidak bisa berbuat banyak. Apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat yang jauh dari kota-kota besar.
Kenyataan tersebut di atas barangkali, yang menjadikan BMI kemudian belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah yang memihak pada mereka. Ditambah memang, perfomance sebuah bank yang hampir tidak bias dielakkan dari kesan eksklusivisme, elitis dan bahkan tidak membumi sebagaimana yang diharapkan jutaan umat sewaktu pendirian BMI sebelumnya. Memang, sebagaimana praktek sebuah bank konvensional yang bermain di level atas dan (keharusan) berorientasi pada keuntungan, maka BMI juga tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan menengah ke atas sebagai nasabah dan debitur paling potensial. Karena sesungguhnya selama ini hanya kelompok kecil inilah yang ‘memegang’ dan punya uang. Tentu hal ini dilakukan untuk menjaga likuiditas Bank dan untuk mempertahankan eksistensinya melalui upaya-upaya mendapatkan keuntungan yang sewajarnya melalui bagi hasil. Kalau tidak, mungkin sulit kita membayangkan BMI akan dapat terus landing dan berkibar hingga hari ini.
Akan tetapi pilihan model pengembangan BMI dalam habitat umat seperti itu bukan berarti tidak memiliki konsekuensi logis. Artinya, umat Islam yang mayoritas berada di level grass root (akar rumput) tidak mendapatkan tempat yang menjadi faktor ‘pertimbangan’ dalam bisnis perbankan besar, karena masyarakat miskin hamper pasti, tidak memiliki nilai bergaining apa-apa dalam sebuah transaksi bisnis perbankan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan BMI memberikan sentuhan yang berarti kepada mereka sebagai bank yang mengusung nama Islam, utamanya pengusaha makro dan mikro yang relatif tidak mungkin dapat menjangkau persyaratan normal perbankan.
Walhasil kehadiran BMI sebagai lembaga perbankan syariah di tengah-tengah habitat umat Islam Indonesia belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan ekonomi masayarakat dalam mengembangkan usaha-usaha mikro yang notabene milik mayoritas umat. Hal ini tentu karena BMI sendiri memiliki keterbatasan-keterbatasan yang cukup berarti, misalnya masih kurangnya modal usaha, banyaknya saingan bank konvensional yang memiliki dana unlimited dan kecenderungan pragamatis umat Islam sendiri yang masih berorientasi pada bunga bank sehingga lebih memilih menjadi nasabah bank konvensional dan lain sebagainya serta berbagai kelemahan usaha mikro lainnya.

B. PERKEMBANGAN DAN ASET PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Sejarah perbankan syariah diawali sebelas tahun lalu, ketika Bank Muamalat mulai beroperasi pada 1 Mei 1992, dengan total komitmen modal disetor sebesar Rp 106.126.382.000,-. Pada masa-masa awal operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperoleh perhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”; tanpa rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, di mana pembahasan mengenai perbankan dengan sistem bagi hasil hanya diuraikan sepintas lalu. Kondisi mulai berubah pada 1998, ketika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7/ 1992 tersebut menjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwa terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system), yaitu system perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, bersamaan dengan mulai meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sebagai hasil edukasi dan kampanye yang gencar diselenggarakan. Perkembangan ini misalnya dapat ditilik dari jaringan kantor perbankan syariah, yang di tahun 1998 baru ada satu bank umum syariah dengan 10 kantor cabang, 1 kantor cabang pembantu, serta 19 kantor kas, menjadi 2 bank umum syariah dengan total 123 kantor, 7 unit usaha syariah pada bank umum konvensional yang tersebar dengan 39 kantor, serta 85 BPRS.
Selain bank umum syariah, bank konvensional juga mulai melirik bentuk perbankan syariah ini dengan mendirikan unit usaha syariah. Saat ini terdapat tujuh bank yang memiliki unit usaha syariah, yaitu Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank BNI, Bank BRI, Bank IFI, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, dan Bank BII.
Perkembangan perbankan syariah yang menggembirakan juga dapat dilihat dari total asetnya yang menunjukkan tren peningkatan secara signifikan. Total asset perbankan syariah pada Desember 2002 berjumlah Rp 4.045.235 juta, meningkat sebesar Rp 1.326.465 juta (48,789 %) dibandingkan posisi pada Desember 2001 sebesar Rp 2.718.770 juta. Pada akhir Maret 2003, angka ini bertambah lagi menjadi Rp 4.632.242 juta, atau mengalami peningkatan 14,5 % dari posisi tiga bulan sebelumnya.
Meskipun angka-angka di atas menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, namun sesungguhnya peran perbankan syariah masih amatlah kecil dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ditinjau dari total aset, perbankan syariah hanya menyumbang Rp 4,63 triliun atau 0,42 % dari total perbankan nasional. Sementara itu, total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun Rp 3,32 triliun atau hanya 0,40 % dari total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun seluruh bank di tanah air. Sedangkan pembiayaan yang telah disalurkan berjumlah Rp 3,66 triliun atau hanya setara 0,87 % dari seluruh kredit yang disalurkan keseluruhan bank. Angkaangka tersebut tentunya masih amat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga menerapkan dual banking system. Di Kuwait, total aset perbankan syariah telah mencapai 32 persen dan Malaysia 7,9 persen dari total aset perbankan.

C. PERBANKAN SYARIAH DAN PEMBERDAYAAN UMAT
Menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan , disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.
Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional,7 sebagaimana ditulis Dixon (1992):
…the basic difference between Islamic and Western banks is that the former operate on an equity-based system in which a predetermined rate of return is not guaranteed, whilst in the latter case the system is based on interest financing. This fundamental difference stems from the Sharia’s prohibition of riba (usury or interest) and gharar (uncertainty, risk or speculation).
Konsep riba tersebut sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami perkembangan makna. Visser (1998), misalnya mengungkapkan perkembangan pengertian riba tersebut:
“The concept of ‘usury’ has a long historical life, throughout most of which it has been understood to refer to the practice of charging financial interest in excess of the principal amount of a loan, although in some instances, and more especially in more recent times, it has been interpreted as interest above the legal or socially acceptable rate.
Setelah lahirnya BMI, Bank Syariah pertama di Indonesia 13 tahun lalu, kini di alam reformasi telah beroperasi pula lembaga-lembaga perbankan konvensional yang menerapkan prinsip syariah, baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Kemunculan bank-bank syariah ‘baru’ - Bank IFI Cabang syariah, Bank Syariah Mandiri dan BNI Divisi Syariah sebenarnya tidak terlepas dari peristiwa krisis moneter yang cukup parah sejak 1998 atau pasca likuidasi ratusan bank konvensional karena pengelolaannya yang menyimpang.
Di samping itu, dalam dunia perbankan, para bankir dan pemerintah sendiri telah terjadi perubahan paradigma dalam memandang perbankan Islam di Indonesia yang selama krisis ternyata dapat bertahan. Ujian moneter selama krisis tersebut itulah yang sedikitnya membawa implikasi positif bagi sejarah perkembangan perbankan Islam kontemporer di Indonesia.
Kendati Bank Syariah sudah tumbuh dengan positif dan diterima oleh masyarakat dengan baik, kaum muslim Indonesia perlu juga bersikap kritis dalam melihat perkembangan pesat tersebut yang terkesan “mengejar momentum”. Karena sebagai bank yang menggunakan sistim yang bersumber dari ajaran wahyu, taruhan konsekuensi nama Islam menjadi cukup berat. Artinya taruhan nama ‘agama’ ini tidak boleh dijadikan permainan ekonomi oleh para pelaku perbankan sekedar mengingatkan awal menjamurnya bank konvensional swasta pada dekade 80-an dan 90-an. Karena jika hal itu terjadi, implikasi yang harus ditanggung sangat besar dan berisiko bagi eksistensi agama Islam, umat dan ajaran-ajarannya.
Oleh sebab itu, kemunculan banyak lembaga perbankan berlabel syariah (Islam) janganlah hanya karena faktor euphoria reformasi sebagaimana perilaku masyarakat umum saat ini. Akan tetapi memang harus benar-benar karena factor demand dan faktor keyakinan masyarakat dalam menjalankan proses berekonomi secara halal dan bermartabat.
Di samping itu, lembaga perbankan yang menganut sistim syariah tidak sertamerta hanya berorientasi untuk meraup dana dari segmen masyarakat Islam sebanyakbanyaknya tanpa memberi manfaat, kontribusi dan implikasi positif kepada usaha peningkatan kesejahteraan umat secara menyeluruh, utamanya dalam pengembangan usaha kecil dan menengah yang mayoritasnya dimiliki umat Islam. Kaum muslim Indonesia tidak mau menyaksikan bank syariah hanya jadi lembaga yang pandai
meraup uang rakyat tetapi tidak pandai membangun ekonomi rakyat. Dengan kata lain, Bank-Bank Syariah yang sudah ada janganlah hanya pengganti kulit bank-bank yang telah dilikuidasi pada 1997 lalu.
Bagi umat Islam Indonesia bagaimanapun juga, Bank-Bank Syariah yang telah beroperasi di tengah-tengah kehidupannya menjadi harapan bagi upaya memberdayakan kehidupan perekonomian mereka. Jadi jangan hanya mengejar keuntungan semata dengan fokus pembiayaan pada usaha-usaha skala besar dan menengah saja seperti pada masa Orde Baru dulu. Akan tetapi harus secara serius dan sepenuh hati juga berusaha mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi umat yang berbasis pada usaha kecil dan kecil-bawah.
Harapan dan kecemasan tersebut di atas penting diperhatikan, karena kaum muslim Indonesia tidak menghendaki bank syariah sama halnya dengan bank konvensional yang lebih tertarik dan memprioritas untuk mengurus pembiayaan kepada pengusaha besar dari pada ke pengusaha kecil karena gambaran keuntungan bisnis belum jelas. Paling tidak, pengalaman beberapa pengusaha kecil mikro yang pernah mencoba mendapatkan pembiayaan di sebuah bank syariah nasional tidak terulang lagi pada masa mendatang. Kaum muslim Indonesia juga tidak ingin mendengar lagi pengusaha kecil mengeluh akibat rumitnya proses pinjaman pembiayaan dan berbagai praktek lempar sana, lempar sini.

D. STRATEGI PENGEMBANGAN MASA MENDATANG
Perkembangan seperti disebutkan di atas setidaknya menunjukkan bahwa ekonomi Islam (syari’ah) yang bersumber dari wahyu dewasa ini telah menemukan form terbaru dalam kehidupan berekonomi di Indonesia. Karena itu, konsep ekonomi Islam yang akhir-akhir ini telah menjadi bagian penting dari sistim perekonomian masyarakat, hendaknya harus dikawal eksistensinya dan harus pula disikapi secara proaktif oleh seluruh umat Islam. Bagaimanapun, ekonomi Islam utamanya sistim syariah yang dipakai dalam operasionalisasi sistim perbankan nasional telah menjadi bagian yang sangat vital dan strategis bagi denyut gerakan perekonomian masyarakat.
Setidaknya, ada hal-hal yang patut membuat umat Islam Indonesia bergembira yaitu telah terjadinya perubahan besar persepsi para pengambil kebijakan keuangan dan moneter di Indonesia terhadap sistim perbankan Islam (khususnya BMI) yang berhasil memperlihatkan prestasi gemilang melawan krisis moneter yang dimulai pertengahan 1997. Padahal, keadaan demikian sebelumnya sangat mustahil akan dapat terjadi di negara sekuler seperti Indonesia ini. Barangkali sejarah menghendaki hikmah blessing in disguise seperti itu?
Kalangan pengambil kebijakan perbankan dan para ahli ekonomi sekarang telah merekonstruksi dan mengevaluasi kembali sistim perbankan yang selama ini berjalan dan ternyata telah berakhir dengan sangat tragis dan hampir menumbangkan integritas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terbukti sistim ekonomi perbankan (kapitalis) yang diterapkan selama ini ternyata sangat rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi. Sebaliknya sistim perbankan yang merunut pada prinsip Islam (syariah) terbukti pula dapat bertahan menghadapi hantaman moneter dan gejolak-gejolak ekonomi lainnya.
Oleh sebab itu, pada masa-masa mendatang lembaga perbankan syariah diharapkan juga mampu membangun gerakan ekonomi rakyat yang kuat dan handal sesuai prinsip-prinsip yang diyakini umat. Tanpa ada usaha memberdayakan ekonomi rakyat yang serius, utamanya ekonomi umat Islam yang berbasis lokal dan grass root, maka kehadiran lembaga perbankan syariah yang sudah mewarnai perekonomian nasional akan sia-sia belaka.
Dalam upaya mewujudkan harapan umat tersebut, diperlukan usaha sungguhsungguh dari kalangan perbankan untuk menyusun langkah-langkah, formasi dan
model-model hubungan yang sinergis antara Bank-Bank Syariah dengan umat Islam sehingga keduanya saling mendapatkan keuntungan yang berararti. Paling tidak, sebagai langkah awal Bank-Bank Syariah diminta dapat memperhatikan aspek empowering umat yang masih sesak dalam kantong-kantong kemiskinan dan keterbelakangan. Tentu saja kepada umat Islam sendiri juga diminta untuk tetap menjadi nasabah Bank-Bank Syariah yang dengan susah payah telah hadir di negeri ini.
Pesatnya perkembangan perbankan syariah juga diikuti dengan pesatnya kajian dan publikasi mengenai prinsip-prinsip serta praktek-praktek bank syariah. Namun demikian, berbagai kajian dan terbitan tersebut hampir seluruhnya membahas bagaimana strategi sukses mengelola bank syariah dengan memfokuskan pada nasabah muslim sebagai sasaran utamanya. Apakah bank syariah memang tidak sesuai untuk nasabah non muslim?
Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat penting untuk dipikirkan, mengingat bahwa non muslim di Indonesia selain jumlahnya cukup signifikan juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Hal ini diperkuat dengan kenyataan pada beberapa wilayah Indonesia, penduduk non muslimlah yang merupakan mayoritas. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, terutama menggagas kemungkinan penerapan strategi pengembangan perbankan syariah melalui peningkatan fokus perhatian pada potensi nasabah non muslim. Argumen pokok dan dasar pemikiran yang ingin dikemukakan berlandaskan pada tiga alasan. Pertama, bahwa larangan pemungutan riba, yang merupakan ciri utama bank syariah, ternyata memiliki akar pada ajaran-ajaran non- Islam.
Kedua, ternyata secara keseluruhan kinerja perbankan syariah lebih bagus dibandingkan dengan kinerja perbankan konvensional. Ketiga, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan dalam pemilihan bank oleh nasabah muslim maupun nasabah non muslim.
Dalam upaya mengembangkan sistem perbankan syariah yang sehat dan amanah serta guna menjawab tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh system perbankan syariah Indonesia, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011, sebagaimana termaktub dalam Cetak Biru tersebut, adalah terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan; diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah; terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; serta terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Dalam upaya mewujudkan sasaran-sasaran tersebut, Bank Indonesia telah mencanangkan inisiatif-inisiatif strategis, yang pelaksanaannya dapat dibagi ke dalam empat fokus area pengembangan, yakni: mendorong kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah secara konsisten, menyempurnakan regulasi dan sistem pengawasan yang sesuai dengan karakteristik perbankan syariah, mendukung terciptanya efisiensi operasional dan daya saing bank syariah, serta meningkatkan kestabilan sistem, peran, dan kemanfaatan perbankan syariah bagi perekonomian secara umum.
Dalam upaya penciptaan efisiensi operasional dan daya saing bank syariah seperti tersebut di atas, perlu diperhatikan pencapaian economies of scale serta economies of scope dari perbankan syariah. Dalam kaitannya dengan hal inilah perluasan cakupan pasar dengan juga memberikan perhatian pada pasar rasional dan non muslim menemukan relevansinya. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini pengembangan perbankan syariah semata-mata masih terfokus pada pasar spiritual, yakni kelompok nasabah yang terutama mempertimbangkan kebersihan dan kemurnian transaksi keuangan, serta mengabaikan pasar non muslim. Padahal, bila menilik kondisi demografis masyarakat Indonesia, terlihat persebaran yang kurang merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
Penetrasi perbankan syariah pada pasar non muslim diharapkan juga akan lebih mudah bila melihat kinerja perbankan syariah yang dalam banyak kategori relative lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ditinjau dari tingkat efisiensi, misalnya, perbankan syariah membukukan prestasi yang baik, yang dapat dilihat dari tingkat laba yang diperoleh. Perbankan syariah telah membukukan laba dalam triwulan I/2003 sebesar Rp 17,7 miliar, dengan ROA sebesar 1,59 % dan ROE sebesar 13,5 %. Rasio ROA dan ROE tersebut cenderung meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar masing-masing 0,84 % dan 6,6 %.
Kinerja yang lebih baik dapat pula dilihat dari rasio Financing to Deposit Ratio (FDR), yakni rasio antara pembiayaan yang diberikan dengan dana pihak ketiga yang diterima bank, yang mencapai 110,22 %. Angka ini jauh melebihi rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan konvensional yang hanya 50,46 %. Perbandingan serupa juga terlihat dari Non Performing Financings (NPF), yakni jumlah pembiayaan yang tergolong non lancar dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Non Performing Financings perbankan syariah hanya 3,96 %, sementara Non Performing Loans perbankan konvensional mencapai 8,15 %.
Selama ini, kalangan perbankan syariah umumnya masih membidikkan sasaran pada para loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah. Masih jarang bank syariah yang mencoba menangkap pasar mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan, konvensional atau syariah. Pasar ini bisa berpindah-pindah, tergantung sistem mana yang lebih menguntungkan.
Sejalan dengan ini, dapat disimak hasil penelitian Bank Indonesia tentang “Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa”. Dalam Pokok-Pokok Hasil Penelitian, butir (5) disebutkan : Analisis faktor-faktor yang memotivasi masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah ternyata untuk masyarakat Jawa Barat dan Jawa Timur yang lebih dominan faktor kualitas pelayanan dan kedekatan lokasi bank dari pusat kegiatan, sedangkan factor pertimbangan keagamaan (yaitu masalah halal/haram) bukanlah menjadi factor penting dalam mempengaruhi kecenderungan menggunakan jasa bank syariah. Hasil penelitian tersebut mengkonfirmasikan penelitian-penelitian sebelumnya, yang menyebutkan bahwa faktor agama bukanlah pertimbangan utama dalam pemilihan bank, dan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara responden muslim dan nonmuslim dalam penetapan kriteria-kriteria utama dalam pemilihan bank.
Sudin, misalnya, menyebutkan:
The three most important criteria in the bank selection process for Muslims were: first, “the provision of a fast and efficient service”;second, “the speed of transaction”; and third, “friendliness of bank personnel”. As regards the non-Muslims, the three most important bank selection criteria were: first, “friendliness of bank personnel”; second, “the provision of a fast and efficient service”; and third, “the reputation and image of the bank”.
Dalam tempo yang relatif singkat, perbankan syariah telah mengalami kemajuan yang menggembirakan, baik dari jumlah kantor, jumlah aset, dana pihak ketiga yang dihimpun, atau pembiayaan yang disalurkan. Namun demikian, kontribusi perbankan syariah dibandingkan dengan total perbankan masih amat kecil. Bank Indonesia mengeluarkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia sebagai peletak posisi dan cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman bagi para stakeholder perbankan syariah. Cetak Biru ini juga memuat inisiatif-inisiatif guna mencapai sasaran yang ditentukan. Salah satu inisiatif penting adalah mendukung terciptanya efisiensi dan daya saing bank syariah. Efisiensi tersebut dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan economies of scale dan economies of scope.
Dalam konteks ini, perbankan syariah perlu pula memberikan perhatian kepada pasar non muslim. Penetrasi terhadap segmen pasar ini diperkirakan akan lebih mudah bila mengingat bahwa ajaran Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen pun juga memiliki akar yang kuat mengenai larangan pemungutan riba. Selain itu, dalam pelbagai kategori penting, kinerja perbankan syariah ternyata relatif lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Apalagi, berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan, ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan antara nasabah muslim dan nonmuslim dalam kriteria pemilihan sebuah bank. Penggarapan pasar rasional dan nonmuslim, sambil tetap memberikan perhatian kepada umat muslim sebagai pasar spiritual yang utama, diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja perbankan syariah lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan kepada para nasabahnya.

E. PENUTUP
Sebagai penutup uraian-uraian terdahulu dari tulisan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara kuantitas sampai tahun 2004 cukup pesat dan menggembirakan. Akan tetapi sisi kuantitas tersebut perlu pula disertai peningkatan kualitas sehingga manfaat jasa perbankan syariah betul dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Kedua, bahwa untuk pengembangan program-program perbankan syariah di Indonesia pada masa-masa mendatang perlu menempuh strategi-strategi baru untuk mempertahankan dan meningkatkan penggarapan pasar loyalis spiritual (internal muslim). Ketiga, bahwa sudah saatnya pihak-pihak pengelola perbankan syariah di Indonesia untuk melakukan penetrasi ke segmen pasar non-muslim karena bila menilik kondisi demografis masyarakat Indonesia, terlihat persebaran penduduk yang kurang merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Thaba,1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press.
Ali Mutasowifin, 2003. “Menggagas Strategi Pengembangan Perbankan Syariah di Pasar Non Muslim” dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 25-39
Bahtiar Effendy,1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina.
Baihaqi Abd. Madjid ,2004, Kesadaran Baru Berekonomi Islam http:// www.bmtlink.web.id/newpage21.htm as retrieved on 11 Dec 2004 17:17:05 GMT. accessed, 16 Desember 2004. “Bank dengan Agunan Amanah,” Tempo, 9 November 1991, hal.22-23.
“Bank Istimewa, Tanpa Bunga,” Editor, 9 November 1991, hal.75-76.
Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia dan Lembaga Penelitian IPB. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Barat.
Bogor: BI dan Lembaga Penelitian IPB.
Bank Indonesia dan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: BI dan PPKP Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro.
Bank Muamalat Indonesia. 1993. Laporan Tahunan 1993 M/1413 H. Jakarta: Bank Muamalat Indonesia.
Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2002. Statistik Perbankan Syariah Desember 2002. Jakarta: Bank Indonesia.
——. 2003. Statistik Perbankan Syariah Maret 2003. Jakarta: Bank Indonesia.
——. 2003. Laporan Triwulanan Perbankan Syariah-Triwulan I/2003. Jakarta: Bank Indonesia.
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan - Bank Indonesia. 2000. Ringkasan Pokok-Pokok Hasil Penelitian “Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa. Jakarta: Bank Indonesia.
Dixon, Rob. 1992. “Islamic Banking”. The International Journal of Bank Marketing. 10
Ekonomi Syariah di Indonesia, Bukan Alternatif tapi Keharusan “http:// www.eramoslem.com/br/fo/4a/14171,1,v.html, accessed 17 Desember 2004.
Erol, Cengiz, Erdener Kaynak, and El-Bdour Radi. 1990. “Conventional and Islamic Banks: Patronage Behaviour of Jordanian Customers”. The International Journal of Bank Marketing. 8 (4).
Gerrard, Philip, and J. Barton Cunningham. 1997. “Islamic Banking: a Study in Singapore”. The International Journal of Bank Marketing. 15 (6).
Haron, Sudin, Norafifah Ahmad and Sandra L. Planisek. 1994. “Bank Patronage factors of Muslim and Non-Muslim Customers”. The International Journal of Bank Marketing. 12 (1).
Lewis, Mervyn K. 1999. “The Cross and the Crescent: Comparing Islamic and Christian Attitudes to Usury”. Iqtisad: Journal of Islamic Economics. 1 (1).
“Mengapa Baru Sekarang Berdiri,” Prospek, 2 November 1991, hal.72-74.
Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Noonan, Jr., John T. 1957. The Scholastic Analysis of Usury. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Page, H. 1985. In Restraint of Usury. The Lending of Money at Interest. London: Chartered Institute of Public Finance and Accountancy.
“Perbankan Syariah yang Semakin Memikat”. Kompas, 30 April 2003.
Perwataatmadja, Karnaen, dan Muhammad Syafi’i Antonio. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
“Riba and Interest”. International Journal of Islamic Financial Services. 1 (2).
Visser, Wayne A.M., and Alastair MacIntosh. 1998. “A Short Review of the Historical Critique of Usury”. Accounting, Business, and Financial History. 8 (2).


















ANALISA DAN KOMENTAR :
Dalam analisa dan komentar pada makalah ini, penulis ingin menegaskan tentang Bank Syariah Sebagai solusi Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan. Analisa dan komentar ini di uraikan secara sistematik dan konseptual sehingga memberikan gambaran pentingnya peranan Bank Syariah Sebagai solusi Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan tersebut.
Sebelum memberikan komentar selanjutnya penulis ingin memberikan summary atau ringkasan dari artikel atau makalah di atas menurut hasil analisa penulis:
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa Sistem Ekonomi Islam menjadi semakin popular tidak hanya di Negara tetapi juga di Negara-negara barat. Di Indonesia konstruksi pemikiran islam kontemporer menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk melaksanakan system ekonomi berbasis Syariah sudah dimulai sejak tahun 1974 sampai tahun 2004. Jumlah perbankan Islam di Indonesia tumbuh dengan cukup pesat. Tetapi pertumbuhan system perbankan Islam perlu didukung dengan kualitas system perbankan islam. Untuk membangun perbankan Syariah di Indonesia pada masa yang akan dating membutuhkan pengembangan strategi baru disamping perhatian yang cukup terhadap Pasar spiritual (Moslem) dan juga untuk memenuhi permintaan produk-produk perbankan Syariah di pasar perbankan, tidak hanya di kalangan Muslim tetapi juga bagi non Muslim di seluruh Propinsi Indonesia. Dengan demikian keuntungan dan pelayanan Perbankan Islam tidak hanya bias dinikmati oleh kalangan Muslim tetapi juga dapat dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia yang non-muslim.
Selain bank umum syariah, bank konvensional juga mulai melirik bentuk perbankan syariah ini dengan mendirikan unit usaha syariah. Saat ini terdapat tujuh bank yang memiliki unit usaha syariah, yaitu Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank BNI, Bank BRI, Bank IFI, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, dan Bank BII.
Perkembangan perbankan syariah yang menggembirakan juga dapat dilihat dari total asetnya yang menunjukkan tren peningkatan secara signifikan. Total asset perbankan syariah pada Desember 2002 berjumlah Rp 4.045.235 juta, meningkat sebesar Rp 1.326.465 juta (48,789 %) dibandingkan posisi pada Desember 2001 sebesar Rp 2.718.770 juta. Pada akhir Maret 2003, angka ini bertambah lagi menjadi Rp 4.632.242 juta, atau mengalami peningkatan 14,5 % dari posisi tiga bulan sebelumnya.
Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
2. Prinsip Kesederajatan
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin. Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional.
Setidaknya, ada hal-hal yang patut membuat umat Islam Indonesia bergembira yaitu telah terjadinya perubahan besar persepsi para pengambil kebijakan keuangan dan moneter di Indonesia terhadap sistim perbankan Islam (khususnya BMI) yang berhasil memperlihatkan prestasi gemilang melawan krisis moneter yang dimulai pertengahan 1997. Padahal, keadaan demikian sebelumnya sangat mustahil akan dapat terjadi di negara sekuler seperti Indonesia ini.
Kalangan pengambil kebijakan perbankan dan para ahli ekonomi sekarang telah merekonstruksi dan mengevaluasi kembali sistim perbankan yang selama ini berjalan dan ternyata telah berakhir dengan sangat tragis dan hampir menumbangkan integritas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terbukti sistim ekonomi perbankan (kapitalis) yang diterapkan selama ini ternyata sangat rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi. Sebaliknya sistim perbankan yang merunut pada prinsip Islam (syariah) terbukti pula dapat bertahan menghadapi hantaman moneter dan gejolak-gejolak ekonomi lainnya.
Sebagai inti dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
Pertama, bahwa pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara kuantitas sampai tahun 2004 cukup pesat dan menggembirakan. Akan tetapi sisi kuantitas tersebut perlu pula disertai peningkatan kualitas sehingga manfaat jasa perbankan syariah betul dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Kedua, bahwa untuk pengembangan program-program perbankan syariah di Indonesia pada masa-masa mendatang perlu menempuh strategi-strategi baru untuk mempertahankan dan meningkatkan penggarapan pasar loyalis spiritual (internal muslim).
Ketiga, bahwa sudah saatnya pihak-pihak pengelola perbankan syariah di Indonesia untuk melakukan penetrasi ke segmen pasar non-muslim karena bila menilik kondisi demografis masyarakat Indonesia, terlihat persebaran penduduk yang kurang merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
Selanjutnya untuk menjawab peranan Bank Syariah Sebagai solusi Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan dapat diwujudkan setelah krisis perekonomian yang melanda berbagai kawasan Asia, Eropa, Amerika Latin, bahkan Amerika Serikat. Peristiwa ini menyisakan pertanyaan besar, apakah sistim ekonomi yang berlangsung saat ini merupakan sistem satu–satunya yang mampu menjawab persoalan umat manusia? Apakah kapitalisme?, liberalisme yanmg mengusung gagasan pasar bebas, mekanisme pase uang berbasis interes dan usuary, serta dominasi mata uang sebagai komoditas yang diperjual belikan merupakan jawaban tunggal bagi ekonomi masyarakat dunia?
Apakah sosialisme sepenuhnya dapat menggantikan ? apakah umat manusia hanya dapat memilih salah satu dari keduanya? Mengapa cara lain yang sepatutnya digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah dalam tatanan ekonomi mikro maupun makro, yaitu sistim nilai dan kelembagaan yang berbasis ajaran agama, khususnya dalam Islam belum menyentuh banyak kalangan pemikir, pelaku pasar maupun tokoh-tokoh pemerintahan didunia?
Banyak jawaban dan spekulasi atas pertanyaan-pertanyaan ini. Namun, secara nyata jawaban-jawaban yang ditempuh untuk mengatasi krisis perekonomian justru semakin memperkuat peran lembaga-lembaga ekonomi kapitalis, melalu design kelembagaan pasar bebas, peran lembaga-lembaga multilateralistik seperti, World Bank, International Monetary Fund (IMF), WTO (world trande organisation), Asia Development Bank (ADB), dan para pelaku pasar dunia lain , yang saling terintegrasi menciptakan sistemnya sendiri, baik untuk kepentingan negara-negara yang mendominasi lembaga-lembaga tersebut, maupun kepentingan pelaku pasar yang telah menginvestasikan dananya melalui atau atas pengaruh lembaga-lembaga tersebut.
Adakah jalan dari institusi-institusi ekonomi kapitalistik ini terbukti benar? Fakta menunjukkan, bahwa hingga saat ini, baik kasus amerika Selatan (Argentina, Brasil, Mexsico, Peru, dan lainnya), Asia Tenggara (Indonesia,Thailand, Korea Selatan, Philipina), bahkan di Rusia yang mencoba mengadopsi pasar bebas Eropa Barat berbasis kapitalisme, kegagalan demi kegagalan masih terus berlangsung.
Kegagalan-kegagalan itu, secara tragis telah meningkatkan utang dan ketergantungan financial yang semakin besar dari negara yang mengalami krisis, serta berkurangnya asset-asset Negara tersebut karena beralih pemilikan untuk membayar utang dan memenuhi anggaran belanja masing-masing.
Dalam proses ini, salah satu instrumen penting yang digunakan adalah lembaga keuangan dan perbankkan. Mengingat lembaga inilah yang dapat menjadi media transaksi keuangan dengan berbagai portofolio produk maupun jasanya, termasuk instrumen-instrumen yang menfasilitasi utang antar negara maupun jual beli asset antar pelaku pasar dunia, serta transaksi antar mata uang, yang tidak sepenuhnya dapat menggerakkan perekonomian sector riil sebagai instumen untuk pemerataan kemakmuran umat manusia.
Mengapa banyak yang terlena dan tidak segera memperkuat sistim perekonomian dan perbankan Islam untuk meraih kembali ketertinggalan dan keterpurukan saat ini? istrumen negara maupun umat menusia dalam mengelola semberdayanya? Sebagai mungkin akibat kurang memahami, sebagian lagi karena mungkin belum cukup mengimani, sebagian lain mungkin tak peduli.
Ditengah keraguan atau mungkin ketidak fahaman, dan pengalaman yang ada, makalah pendek ini, ingin mengulas sedikit peristiwa dari pengalaman masa krisi perbankan nasional, dengan harapan semoga menambah energi dan inspirasi untuk mewujudkan sistim ekonomi ilahiah, dan mewujudkan kebenaran Islam sebagai sistem dan mekanisme universal bagi umat manusia, melalui perbankkan syariah.

A. Perspektif Ekonomi Islam
Islam merumuskan sistem ekonomi berbeda dari sistem ekonomi lain, karena memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan setiap muslim dalam menjalankan setiap kehidupannya. Dalam hal ini Islam memiliki tujuan-tujuan syariah (maqosid asysyariah) serta petunjuk untuk mencapai maksud tersebut.
Dalam Al-Mustasyfa, Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa tujuan utama syariah adalah meningkatkan kesejahteraan manusia yang terletak pada pemeliharaan 5 hal, yaitu: Imam (hifz al-iman), hidup, akal, keturunan dan harta benda (hifz al-maal). Segala tindakan yang berupaya meningkatkan kelima maksud tersebut merupakan upaya yang memang seharusnya dilakukan serta sesuai kemaslahatan umum.
Sebagai sebuah keyakinan yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (universal), Islam mudah dan logis untuk difahami, serta dapat diterapkan, termasuk didalam kaidah-kaidah muamalahnya (tat hubungan sosial ekonomi). Dalam hal ini ekonomi Islam sebagai bagian kegiatan muamalah sesuai kaidah syariah, adapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ (kesepakatan ulama) dan qias (analogi). Al-Quran dan as-Sunnah merupakan sumber utama, sedangkan ijma’ dan Qias merupakan pelengkap untuk memahami al- Quran dan as-Sunnah
Ekonomi Islam memiliki pandangan yang khusus terhadap uang sebagai alat tukar pembayaran dan itu pun dalam konteks terbatas. Uang tidak akan bernilai tanpa digunakan sebagai alat pembayaran. Oleh karena itu uang yang bertumpuk (idle) tidak sama dengan uang yang beredar. Jika kita menganggap uang yang disimpan memiliki nilai, berarti kita telah menyalahi fungsi uang sebenarnya. Menumpuk uang berarti menganggap bahwa harta itu kekal dan orang itu cenderung berbuat sewenang-wenang denganya. Hal inilah yang membuat orang terangsang untuk membungakan uang, karena merasa memiliki power (kekuasaan) terhadap pihak lainnya. Tindakan ini merupakan suatu bentuk eksploitasi suatu pihak terhadap pihak lainnya dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan sosial.
Selain soal pandangan terhadap uang, Islam juga memandang bahwa salah satu upaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi Islam secara nyata adalah dengan mendirikan lembaga-lembaga keuangan dan perbankkan yang sesuai kaedah syariat Islam. Dari berbagai jenis lembaga keuangan, perbankan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya dalam aktivitas ekonomi masyarakat modern.
Tujuan bank syariah secara umum adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, financial, komersial dan infestasis sesuai kaidah syariah. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang tujuan utamanya adalah pencapaian keuangan yang setinggi-tingginya (profit maximization)
Sedangkan prinsip utama bank Islam terdiri dari larangan atas riba pada semua jenis transaksi. Menrut Badrad-Dien al-Ayni dalam kitab umdatul Qori, prinsip utama adalah penambahan dan menurut syriah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi yang riil. Sedangkan menurut Imam Sarakhsi dalam kitab al-mabsut, riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis dalam kitab al- Mabsut, Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi syariah atas penambahan tersebut.
Dalam pelaksanaan aktifitas bisnisnya, bank Islam dilakukan atas dasar kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan, pembentukan kemitraan yang paling menguntungkan, serta laba yan diperoleh dari usaha yang halal. Hal pokok yang juga menjadi pembeda adalah kewajiban bank Islam untuk mengeluarkan dan mengadministraikan zakat guna mengembangkan lingkungan masyarakat (social conduct).

B. Perbankan syariah sebagai solusi
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(QS. – Al Baqarah :257)

Makna dan Pemahaman
Bank menurut bahasa arab berasal dari kata “Mashrif yang artinya pertukaran (exchange), yaitu penjualan mata uang dengan mata uang yang lain. Kata mashrif sendiri merupakan istilah nama untuk suatu tempat. Namun demikian artinya dengan kata bank. Manurut bahasa Eropa (Itali, bank bersal dari kata “Banco” yang arinya bangku atau counter. Kata tersebut dipopulerkan karena segala aktifitas pertukaran uang orang-orang Itali menggunakan bangku atau counter. Meskipun demikian perkembangan perkembangan perbankan agak tersendat bahkan sampai zaman Eropean Renaissance.
Bank pertama yang sudah berdiri di Itali pada waktu itu adalah kota Venice tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi menggunakan deposito adalah di Barcelona 1401. Sebelum masa kenabian nabi Muhammad SAW, kota Mekkah merupakan kota pusat perdagangan dan para pedagang berdatangan dari segala penjuru bahkan dari luar kota Mekkah. Perjalanan para saudagar menuju pasar Mekkah dilakukan sekaligus ibadah haji (waktu itu masih menyembah berhala) sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sebagai perjalanan kaum Quraiys yang aktif berdagang sesuai musim waktu itu, yaitu miusim panas dan musim dingin (QS. 106:1-2).
Kemudian setelah Islam datang, maka segala prinsip-prinsip yang berlaku pada saat itu dan bertentangan dengan syariah harus diubah, dan semenjak itulah parasahabat mulai mengerti pentingnya aturan tersebut. Salah satu contoh adalah az-Zubair bin al Awwam, yaitu beliau adalah salah seorang yang dipercaya Rasul untuk sebagai tempat penyimpanan uang , namun Zubair menolak menerima uang simpanan tersebut. Zubair mensyaratkan bahwa dirinya mau menerima uang simpanan apabila uang tersebut bias digunakan olehnya (diterima sebagai pemberian pembiayaan) bukan hanya sekedar tempat penyimpanan. Kemudian Zubair juga memberikan secure guarantee kepada setiap pemilik modal bahwa uang tersebut akan aman apabila tidak digunakan olehnya namun akan mengalami pengurangan atau kerugian apabila digunakan; begitu pula halnya apabila uang tersebut dijadikan sebagai modal pembiayaan maka dana tesebut dijamin oleh sipeminjam (bukan oleh Zubair).

Perbedaan Perbankan Syariah dan Bank Konvensional
Menurut undang-undnag no. 7 tahun 1992 yang diubah menjadi undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (pasal 1 ayat 1). Kemudian dilanjutkan dengan ayat 2 menyatakan bahwa bank adalah bandan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Undang-undang nomor 10 tahun 1998 juga mempertegas eksistensi prinsip usaha bank berlandaskan syariah, yaitu dalam ayat 3 yang berbunyi “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Perbedaan-perbedaan pokok antara bank syariah dan bank konvensional:



1. Produk Perbankan Syariah
Secara umum produk-produk simpanan bank syari’ah menggunakan prinsip titipan (wadi’ah), yang diaplikasikan dalam produk “giro wadiah” dan prinsip investasi (mudharabah), yang diaplilkasikan dalam produk “tabungan dan deposito mudharabah”.
Untuk produk-produk jasa seperti transfer, kliring, inkaso, pembayaran rekening listrik, telefon dan lain-lain, menggunakan prinsip ujrah.
Sedangkan produk pembiayaan secara umum terbagi dalam dua prinsip, yaitu jual-beli termasuk sewa-beli dan pembiayaan dengan skema bagi hasil. Skema pembiayaan jualbeli terdiri dari murabahah, salam, istishna’ dan pembiayaan sewa beli yaitu ijarah muntahiyyah bi tamllik. Sedangkan pembiayaan dengan metode bagi hasil juga mempunyai dua produk yaitu musyarakah dan mudharabah termasuk mudharabah muqayyad (restricted investmen).

C. Kinerja Perbankan Syari’ah
Pada awal operasinya, bank muamalat belum mendapat perhatian optimum dalam industri perbankan nasional. Landasan hukum operasinya sebagai bank syariah hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistim bagi hasil “, sebagai tercermin dalam UU No. 7/1992 yang meletakkan pembahasan perbankan bagi hasil hanya sepintas.
Meskipun sendirian peran yang ditempuh bank Muamalat Indonesia, telah meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa perbankan syariat telah menunjukkan keberadaan dan kebenarannya, serta teruji dalam krisis yang menimpa Indonesia. Ujian itu berhasil dilewati dan menempatkan bank Muamalat Indonesia pada program restrukturisasi perbankan nasional pada tahun 1998 dalam kategori A (CAR di atas 4 %) sehingga tidak memerlukan bantuan suntikan modal pemerintah dan hanya harus menyampaikan bisnis plan, sebagai wajarnya. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain:
Pertama, beroprasi atas dasar prinsip syariah melalui bagi hasil, tidak beroprasi atas dasar bunga /riba, gharar, dan maisyir, dan karenanya tidak mempraktekkan pemberian bunga kepada deposan maupun penarikan bunga dari para pemimpin dana / nasabah pembiayaan.
Kedua, tidak mengalami negative spread. Hal ini terjadi karena bank muamalat tidak memberikan bunga, dalam hal ini bagi hasil lebih besar dari yang diperoleh, melainkan revenue sharing dari hasil usaha nyata atas penyaluran dana masyarakat kepada sector usaha yang dibiayai bank.
Ketiga, tidak mengambil posisi untuk melakukan spekulansi mata uang (gharar) sehingga tidak mengalami problem NOP (net Open Position). Dan keempat, bertumpu pada pemikan terhadap usaha kecil dan menegah (UKM) yang terbukti tangguh dan tahan dalam menghadapi krisis perekonomian nasional.
Pertumbuhan bank Muamalat sejak 1998 pun amat mengembirakan. Hal ini tanpak dari asset yang terus tumbuh, FDR (Financing to Deposit Ratio atau LDR) yang selalu lebih dari 80 % setiap tahunnya, dan laba yang terus meningkat, dari sisi Asset, dari tahun 1998 sehingga saat ini mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 48.31%. dari Rp. 446,9 Milyar pada akhir tahun 1998 menjadi Rp. 2.139 Triliun pada akhir tahun 2002.
Sampai akhir Mei 2003, total asset perbankan syariah telah mencapai lebih dari Rp. 5,09 Triliun atau 0,46% dari total asset perbankan nasional. Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) sampai April 2003 telah mencapai lebih Rp. 3,6 Triliun, yang terdiri dari Giro Wadiah Rp. 382,5 Miliar, Tabungan mudharabah Rp. 1,19 Triliun dan deposito mudharabah Rp. 2,03 Triliun.

Tantangan Yang Dihadapi
Beberapa kendala pengembangan perbankan syariah selama ini adalah:
a. Jaringan kantor bank syariah dan pangsa pasar yang masih terbatas
b. Pemahaman masyarakat dan sosialisasi yang belum tepat mengenai produk, jasa dan kegiatan operasional bank syariah. Hal ini disebabkan antara lain oleh pandangan ulama MUI yang belum tegas mengenai bunga, yang kurangnya perhatian ulama atas kegiatan ekonomi di Indonesia. Padahal kalangan ulama international telah menyatakan, bahwa bunga bank sama dengan riba, dan riba hukumnya haram.
c. Sumber daya manusia profesional perbankan syariah masih terbatas.
d. Permodalan yang masih kecil
e. Belum konsisten antara pemahaman dengan pilihan perbankan syariah, misalnya banyak tokoh masyarakat Islam dan institusi Islam, rekeningnya diperbankan konvensional.
f. Ketentunan perundangan, peraturan-peraturan serta institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif.

Inisiatif Ynag Perlu Ditempuh
Beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah bersama para pelaku ekonomi syariah untuk merealisasikan hal tersebut ditempuh melalui beberapa langkah utama:
a. Memberi kemudahan pengembangan jaringan pelayanan dan pembukaan kantorkantor bank syariah untuk memperluas jangkauan pasar dan memberikan pelayanan.
b. Mengupayakan peningkatan modal dan kemudahan dalam memperolah modal bagi bank syariah.
c. Melengkapi kerangka hukum dan penyempurnaan ketentuan perbankan syrariah. Dalam hal ini isu perlu tidaknya UU perbankan syariah harus segera dituntaskan oleh pemerintah, dalam hal ini bank Indonesai dan DPR.
d. Melengkapi istitusi pendukung yang lebih efektif, antara lain Auditor Syariah, Pasar Keungan Syariah International, Lembaga Penjaminan Pembiayaan Syariah, dan Badan Arbitrase Syariah.
e. Menyiapkanpusan informasi dan komunikasi keuangan syariah, yang berfungsi menghubungkan sector riil dengan sektor pembiayaan syariah.
f. Melanjutkan sosialisasi dan edukasi publik yang didukung olah bank Indonesia, para ulama diseluruh pelosok maupun melalui majelis ulama, asosiasi dan masyarakat, yang didukung anggaran bank Indonesia.
g. Menyiapkan special purpose company/vehicle (SPC/V), untuk membantu melakukan sekuritisasi asset bagi bank syariah yang ingin meningkatkan likuiditasnya (misalnya melalui asset backed securitisation-ABS).
h. Mendorong kekuatan bank syaraih local untuk menjadi pemain pasar global dan berdaya asing international.

No comments:

Post a Comment

Refleksi Agama