Revtwt News Headline Animator

Sunday, July 18, 2010

SISTEM KEUANGAN ISLAM

SISTEM KEUANGAN ISLAM


P
A
P
E
R

DIPRESENTASIKAN SEBAGAI TUGAS
MATA KULIAH SISTEM FINANSIAL ISLAM
DOSEN PEMBIMBING: Prof. Dr. SOFYAN SYAFRI HARAHAP


Oleh : Ismul Azhari
Nim: 08 EKNI 1348



PASCA SARJANA IAIN SUMUT
2009-2010




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah. Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (an taraddin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan.
Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung resikonya (al ghunmu bi laa ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).
Di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran pemikiran sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama berpendapat bahwa bahwa bunga bank tidak tergolong riba, karena yang disebut riba adalah pembungaan uang oleh mindering yang bunganya sangat tinggi sehingga disebut “lintah darat”.
Tetapi aliran yang melahirkan ide bank Islam berpendapat bahwa bunga bank itu tetap riba. Akan tetapi keberadaan bank sebagai lembaga keuangan, tidak dilarang, bahkan diperlukan. Sehingga menjadi sebuah kewajaran, atau mungkin keharusan jika lembaga keuangan syariah yang muncul memberikan warna baru yang lebih menawarkan keadilan, baik kepada pemilik modal ataupun peminjam (pengusaha).
Sebagai sebuah alternatif, bank (lembaga keuangan) syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudharabah atau qiradh.
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat tertentu.
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian.
Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Mustafa Al Zarqa mendefinisikan tasharruf adalah “segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban)”.
Suatu tindakan dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad.
Dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara BMT dan nasabah, sistem mudharabah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudharabah dan mekanisme pelaksanaan bagi hasil. Aturan mengenai hal itu tentu saja secara teoritis berkiblat pada perspektif literatur fiqh klasik muamallah tentang mudharabah yang kemudian direaktualisasikan oleh para praktisi dan akademisi perbankan syariah kontemporer.
Karena dalam masyarakat banyak muncul asumsi bahwa BMT dan lembaga keuangan syariah lainnya sama saja dengan lembaga keuangan konvensional lainnya, maka penelitian ini dibuat guna mencari solusi alternatif bagi permasalahan tersebut, serta untuk mengetahui apakah para nasabah memahami konsep pembiayaan mudharabah baik dari segi pemahaman arti akad maupun sistem nisbah bagi hasilnya, sekaligus dalam rangka membangun sistem transaksi ekonomi yang Islami (berkeadilan) dalam sebuah lembaga keuangan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, persoalan yang akan dibahas dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah nasabah BMT telah memahami mengenai konsep pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi hasil pada waktu melaksanakan akad ;
2. Apakah pemahaman nasabah dalam konsep akad pembiayaan mudharabah dan kesepakatan nisbah bagi hasil tersebut dapat menimbulkan sengketa antara nasabah dengan pihak BMT ?
3. Bagaimana cara penyelesaian yang ditempuh jika terjadi sengketa antara BMT dengan nasabah ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi hasil.;
2. Untuk mengetahui kemungkinan timbulnya sengketa berkaitan dengan pemahaman nasabah mengenai konsep akad pembiayaan mudharabah dan kesepakatan nisbah bagi hasilnya;

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
a. Bagi institusi pendidikan
Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran sebagai pembanding penemuan-penemuan peneliti terdahulu tentang pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah dari BMT .
b. Bagi penulis lain
Dapat dijadikan referensi untuk pengembangan penelitian dan dasar atau acuan penelitian lain.
2. Manfaat Sosial
a. Bagi BMT
Masukan bagi BMT untuk bahan pertimbangan melakukan peningkatan kinerja dan srategi dalam pemberian fasilitas pembiayaan mudharabah bagi nasabahnya.
b. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan tentang pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah serta nisbah bagi hasilnya dan kemungkinan timbulnya sengketa berkaitan dengan akad pembiayaan mudharabah.
E. Telaah Pustaka
Penelitian mengenai mudharabah dan bagi hasil ini bukanlah yang pertama yang pernah dilakukan, namun ada penelitian yang dilakukan dan mirip dengan penelitian yang dilakukan baik oleh peneliti dari Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia maupun oleh peneliti lain, antara lain sebagai berikut :
Ahmad Dahlan dalam tesisnya menemukan bahwa didalam lembaga keuangan BMT menerapkan sistim mudarabah muqayyadah fi al-nisbah bi al-miyyah . Mudarabah ini mempunyai asumsi perhitungan nisbah yang ditetapkan 2,5 % atas dasar besarnya pembiayaan yang dikeluarkan pihak BMT sebagai shohib al- mal (pemodal) sehingga mekanisme ini menyerupai perhitungan bunga. Penemuan ini menunjukkan bahwa disini didalam aplikasi pembiayaan mudharabah terdapat kelemahan sistim bagi hasil yang menyimpang dari sejarah pendiriannya yang bebas bunga.
Amirudin membicarakan konsep mudarabah dalam perspektif fiqh Islam dan praktisi perbankan syariah melalui studi perbandingan dua kasus LKS di Ponorogo. Perspektif fiqh juga disampaikan dalam penelitiannya. Selain itu penelitian lain yang dilakukan oleh Subroto, yang mengemukakan tentang prosedur pembiayaan mudarabah dan mekanisme pembagian keuntungan serta menyelesaikan masalah kredit macet di 5 BMT di Ponorogo.
Sumiyanto membicarakan mengenai atribut mudarib, ciri-ciri proyek, dan minat BMT terhadap pembiayaan Mudarabah. Ketiganya digali dari perspektif shahibul mal dan menggunakan analisis statistik sehingga analisisnya sangat kuat bernuansa kuantitatif semata. Dari penelitiannya diketahui bahwa pembiayaan mudharabah belum menjadi pola pembiayaan yang menarik bagi BMT sehingga temuan tersebut memperkuat motivasi penelitian tesis ini.
Hikmatullah melakukan penelitian mengenai kemampuan alternatif mudarabah atas sistim riba. Menurutnya bunga adalah riba dan bagi hasil yang terdapat pada proyek mudarabah adalah sistim pengganti riba itu. Muatan penelitiannya mengetengahkan teori alternatif yang aman dan tepat untuk menggunakan pembiayaan mudarabah. Terkait dengan penelitian ini akan digunakan dalam kerangka pemikiran perbaikan pada aspek pelaksanaannya.
Masudul Alam Choudhury mencermati prinsip bagi untung (profit sharing) pada mudarabah. Dia mengartikan mudarabah sebagai suatu kerjasama kemitraan yang didalamnya masing-masing menyertakan modal, pengelola ataupun perusahaan dengan kesepakatan untuk berbagi keuntungan dalam bentuk persentase. Dalam pandangannya, mudarabah terjadi hanya untuk memperoleh keuntungan dari masing-masing pihak. Pandangan ini berbeda dengan pandangan bahwa mudarabah merupakan kerjasama kemitraan dalam keuntungan maupun kerugian. Akan tetapi penelitian ini akan sangat mempertimbangkan analisisnya atas hubungan tingkat keuntungan (profit rate) dengan rasio pembagian keuntungan (profit –sharing ratio) untuk mencermati kemampuan BMT memandang kelayakan suatu proyek sekaligus kemampuan manajemennya.
Zaidi Satar (ed) mengetengahkan pemikiran dan tulisan banyak tokoh ekonomi Islam mulai dari segi etika moral ekonomis bagi untung rugi hingga konsekuensi maupun model investasi dinamis pembagian untung rugi. Ulasan tiap bagiannya sangat mendukung dalam kerangka berpikir tentang realisasi pemikiran moralitas kepada realitas ekonomi sehingga sistim bagi hasil sebagai prinsip pembiayaan pada lembaga keuangan syariah selanjutnya dikenali secara utuh.

F. Kerangka Teori
Mudharabah atau qiradh disebut juga perjanjian bagi hasil, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan syara’ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
Dalam teori yang dikembangkan para pemikir dan praktisi perbankan, dimunculkan kata amin dan wakil sebagai sebutan bagi mudharib dalam kontrak mudharabah. Kata amin dimaksudkan agar mudharib benar-benar menjaga titipan (modal) yang diberikan shahib al-mal kepadanya. Namun perbedaan makna amin dalam amanah dan amin dalam mudharabah sebagai inisial dari mudharib terdapat dalam penggantian kerugian. Dalam makna yang sebenarnya kerugian harus ditanggung oleh amin, sedangkan dalam mudharabah kerugian dipikul oleh shahib al-mal atau orang yang menitipkan barang.
Begitu pula dengan wakil, penyiasatan ini muncul ketika dalam kerugian mudharib tidak akan mendapatkan apa-apa sementara wakil tetap mendapatkan laba sebagai renumeration tetapnya. Namun penyiasatan ini muncul dalam konteks wakalah nya atau sistim perwakilannya dimana shahib al mal mempunyai kewenangan apapun dalam mengatur wakil nya. Sementara mudharib sebagai wakil tidak akan berbuat bebas karena dia hanyalah seorang agen, tangan kedua dari shahib al-mal.
Kesan yang mudah ditangkap dalam kaitannya dengan penyebutan itu adalah adanya tindakan antisipatif shahibul al-mal bank syariah (baca BMT) sekaligus penggiringan mudharib dalam sebuah ruang yang dirancang agar mudharib tidak dapat berbuat apapun jika pada suatu saat terjadi kerugian dalam kontrak mudharabah.
Masalah amin atau wakil seharusnya ditempatkan pada porsinya yang tepat. Penyiasatan kedua istilah tersebut untuk kepentingan pengukuhan keberadaan sistem mudharabah dalam perbankan syariah (baca BMT) merupakan tindakan yang mengada-ada. Perlu kiranya dimunculkan pemahaman yang benar akan hakikat mudharabah. Mudharabah memang sebuah kerjasama yang membutuhkan kejujuran total dari kedua belah pihak terlebih bagi mudharib. Kejujuran yang dimaksud meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan usaha dan pelaporan hasil usahanya.
Perlu dipahami, persepsi masyarakat tentang bank syari’ah masih keliru. Bank syari’ah dipandang sebagai :
(1) Bank Syari’ah sebagai bank sosial (Baitul Mal) untuk membantu pembangunan (ekonomi) umat. Implikasi kekeliruan persepsi ini berdampak pada pemahaman masyarakat bahwa : (a) bank syari’ah tidak boleh meminta jaminan dalam memberikan pembiayaan, (b) bank syari’ah tidak mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat pada waktunya, (c) bank syariah tidak boleh menyita jaminan.
(2) Bank Syari’ah sebagai bank bagi hasil. Implikasinya adalah pemahaman masyarakat bahwa : (a) Untuk semua kebutuhan nasabah harus menggunakan produk mudharabah atau musyarakah, (b) Bagi hasil yang diberikan bank kepada nasabah harus lebih besar jika dibandingkan dengan bunga dari bank konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan harus lebih kecil daripada bunga bank, (c) bagi hasil dibayar setahun sekali, seperti waktu pembayaran deviden, (d) Bank akan turut campur dalam manajemen perusahaan nasabah, dan (e) Bank akan turut memiliki perusahaan nasabah.
Kesalahan persepsi masyarakat ini bertambah parah lagi dengan sikap sebagian karyawan bank Islam yang cenderung terlalu menyederhanakan konsep bank Islam di lapangan, sehingga umat Islam sebagian diantara mereka lebih senang berhubungan dengan bank konvensional, karena ketidakmampuan bank syariah memenuhi kebutuhan umat.
Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut :
a. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;
b. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul;
c. Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa;
Nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul al-mal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan, adapun nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu.

G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif.
2. Pengumpulan Data
a. Metode Literature Review
Sebagai metode ilmiah, Literature Review biasanya diartikan sebagai pengamatan dan pengkajian secara meluas dengan sistematis terhadap referensi-referensi dan sumber-sumber kepustakaan yang diselidiki baik secara langsung maupun secara online.
b. Metode Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang diperoleh dengan sumber pada dokumentasi antara lain catatan, laporan tertulis serta akad perjanjian.

H. Identifikasi Variabel
Menurut Notoatmojo, Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sebagainya. Di dalam penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu :
1. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat, dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah akad pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi hasil.
2. Variabel terikat.
Variabel terikat adalah variabel yang terikat oleh variabel bebas, dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah pemahaman nasabah.

I. Jenis Data
Jenis data pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer yang diperoleh dengan wawancara dengan 12 orang nasabah (jumlah sampel) dan 2 orang sebagai sumber di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan dan hasil kegiatan di BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

J. Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Pada penelitian ini data yang diperoleh adalah data kualitatif yaitu data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik, atau sifat variabel. Sesuai dengan jenis data yang diperoleh dari penelitian tersebut maka teknik pengolahan data pada penelitian ini menggunakan teknik non statistik yakni pengolahan data dengan tidak menggunakan analisa statistik, melainkan dengan analisis kualitatif. Analis kualitatif pada penelitian ini dilakukan secara induktif yakni pengambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil tinjauan kepustakaan dan observasi yang khusus.
2. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis bivariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas.

K. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Didalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah :
1. Literature review
2. Alat tulis.

M .Sistimatika Pembahasan
Agar pembahasan dalam tesis ini lebih terarah dan sistematis, maka diperlukan sistematika yang dibagi menjadi beberapa pokok bahasan:
Bab I yang merupakan bab Pendahuluan memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II mengemukakan gambaran umum mengenai BMT dan Akad Pembiayaan Mudharabah dalam kaitannya dengan BMT sebagai lembaga keuangan syariah disamping bank Islam yang memberikan pelayanan pembiayaan mudharabah dengan prinsip bagi hasil.
Sedangkan sebagai penutup Bab III terdiri dari kesimpulan dan saran. Didalamnya disajikan ulang secara singkat beberapa jawaban atas permasalahan yang mendorong diadakannya penelitian ini.

BAB II
BMT DAN AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH

A. Wacana Tentang BMT
1. Pengertian BMT
BMT singkatan dari Baitul māl wattamwil. BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul māl dan baitul tamwil. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti rumah uang dan rumah pembiayaan. Baitul māl lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.
Menurut Makhalul ‘Ilmi, secara istilah pengertian baitul māl adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infak, shodaqoh (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al Qur’an dan sunnah Rasul Nya, dan pengertian dari baitul tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.
Sedangkan menurut Muhammad, pengertian baitul māl adalah suatu badan yang bertugas mengumpulkan, mengelola serta menyalurkan zakat, infak, dan shodaqoh yang bersifat social oriented, dan baitut tamwil adalah suatu lembaga yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk suatu tujuan profit oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah, syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u bitsaman ajil/angsur, murabahah /tunda) maupun sewa (al-al-ijarah).
Dengan demikian BMT sesungguhnya merupakan lembaga yang bersifat sosial keagamaan sekaligus komersial. BMT menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan. Disisi lain ia mencari dan memperoleh keuntungan melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam bentuk penghimpunan, pembiayaan, maupun layanan-layanan pelengkapnya sebagai suatu lembaga keuangan Islam.
Dilihat dari bangunan suatu kelompok, maka BMT tidak berbeda dari ormas Islam lainnya kecuali pada bidang geraknya secara ekonomis dan bisnis keuangan. Mulai dari tujuan, asas dan landasan, visi dan misi BMT, semuanya terlihat sebagai organisasi keuangan orang Islam pada umumnya. Visi BMT adalah semakin meningkatnya kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. Disini BMT menempati fungsi lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu melayani nasabah usaha mikro dan kecil-bawah.
Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai lembaga yang berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial. Akan tetapi ia bergerak juga untuk penyaluran dan penggunaan zakat, infaq, dan sadaqoh; ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya, milik bersama masyarakat kecil-bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik seseorang atau orang dari luar masyarakat itu. Ciri khasnya meliputi etos kerja bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang bisnis.
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya PINBUK menetaskan BMT dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba kekurangan baik di bidang ilmu pengetahuan atau materi, maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

2. Sejarah Berdirinya BMT
Sesuatu yang revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut baitul māl. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang transparan dan bertujuan seperti apa yang sekarang disebut dengan welfare oriented. Hal ini dirasakan asing pada masa itu, karena pajak yang dikumpulkan oleh penguasa di kerajaan-kerajaan tetangga di jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia, dikumpulkan oleh menteri dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan raja.
Baitul māl yang didirikan oleh Rasulullah SAW tidak mempunyai bentuk yang formal sehingga memberikan fleksibilitas yang tinggi dan nyaris tanpa birokrasi. Keadaan ini bertahan sampai pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ra, dimana dapat dikatakan tidak ada perubahan yang signifikan dalam pengelolaan baitul māl. Baru pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra, sejalan dengan bertambah luasnya wilayah pemerintahan Islam, volume dana yang dikelola dan keragaman kegiatan baitul māl juga bertambah besar dan bertambah kompleks. Keadaan ini mendorong khalifah untuk membuat sistem administrasi dan pembukuan yang mampu menangani perkembangan ini.
Sejak jaman Rasulullah saw baitul māl bukanlah sekedar lembaga sejenis BAZIS yang dikenal sekarang ini. Baitul māl merupakan lembaga pengelola keuangan negara, maka baitul māl memainkan fungsi kebijakan fiskal sebagaimana yang dikenal dalam ekonomi sekarang. Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh baitul māl sejak jaman rasulullah saw memberikan dampak langsung pada tingkat investasi dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal kebijakan moneter, sampai dengan masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra, boleh dikatakan pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan moneter, karena pada masa itu belum ada dinar Islam yang dicetak oleh pemerintah Islam. Ketika itu dinar Romawi dan dirham Persia yang digunakan sebagai alat bayar. Barulah di masa pemerintahan Khalifah Ali ra, dicetak dinar Islam dalam bentuk yang khas pemerintahan Islam. Namun karena keadaan politik saat itu mengakibatkan peredarannya sangat terbatas. Jadi dapat dikatakan bahwa baitul māl di jaman Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin ra tidak menjalankan fungsi kebijakan moneter dalam arti mengelola jumlah uang yang beredar.
Para ahli ekonomi Islam dan sarjana ekonomi Islam sendiri memiliki sedikit perbedaan dalam menafsirkan baitul māl ini. Sebagian berpendapat, bahwa baitul maal itu semacam bank sentral yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai kesederhanaannya karena keterbatasan yang ada. Sebagian lagi berpendapat bahwa baitul māl itu semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal ini mengingat fungsinya untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara. Kalaupun lembaga baitul māl yang menurut para orientalis bukan sesuatu yang baru, maka proses siklus dana masyarakat (zakat,infaq dan shodaqoh) yang dinamis dan berputar cepat merupakan preseden yang sama sekali baru.
Penjajahan yang terjadi di negara-negara Islam membawa perubahan dalam sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun akhirnya banyak negara Islam yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya, namun kenyataannya mereka hanya merdeka secara politik, karena sisa-sisa penjajahan masih dirasakan terutama dalam bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Sistem ekonomi pada umumnya tidak bisa lepas dari sistim politik. Penjajahan telah membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan sekuler, yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidah dari para pemimpinnya. Warisan ekonomi penjajahan membawa masalah seperti pengangguran, inflasi serta terpisahnya agama dan ekonomi serta politik, yang mengakibatkan ketidakberhasilan dalam pembangunan ekonomi.
Hal ini menimbulkan pemikiran di kalangan negara Islam, bahwa perlu dicari terobosan baru sebagai solusi untuk mengatasi masalah ekonomi. Yang menarik adalah bahwa solusi tersebut dikembalikan dan dikaitkan dengan ideologi. Konsep ini berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam bahwa sistem ekonomi penjajah tidak dapat mengatasi masalah. Dalam masalah keuangan, ditemukan terminologi baru bahwa sistem bunga yang ribawi yang dikenalkan oleh penjajah telah menghilangkan baitul māl dalam khasanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengarahkan pada sistem keuangan yang bebas riba.
Gerakan lembaga keuangan yang bebas riba dengan sistem modern didirikan pada tahun 1969 oleh Abdul Hamid An Maghar di desa Mith Gramer, tepi sungai Nil di Mesir. Meskipun akhirnya ditutup karena masalah manajemen, akan tetapi kelahiran Bank ini telah mengilhami diadakannya Konferensi Ekonomi Islam yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB).
Kelahiran IDB merupakan hasil serangkaian kajian yang mendalam dari pakar ekonomi dan keuangan juga dari para ahli hukum Islam. Negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam menjadi motor penggerak berdirinya IDB. Mesirlah yang pertama kali mengusulkan pendiriannya. Pada sidang Menteri Luar Negeri negara anggota OKI di Karachi Pakistan tahun 1970, Mesir mengusulkan perlunya pendirian Bank Islam Dunia. Usulan tersebut ditulis dalam bentuk proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan pembangunan serta pendirian Federasi Bank Islam. .
Tujuan utama IDB adalah untuk memupuk dan meningkatkan perkembangan ekonomi dan social negara-negara anggota dan masyarakat muslim secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan prinsip syariat Islam. Fungsi utama bank ini berperan serta dalam modal usaha dan bantuan cuma-cuma untuk proyek produksi dan perusahaan disamping memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk perkembangan ekonomi dan sosial.
Keberadaan IDB sangat berpengaruh dalam memberikan inspirasi pada pendirian dan perkembangan bank syariah di berbagai negara Islam.Komite ahli IDB kemudian menyusun berbagai peraturan dan perangkat pengawasan, untuk mengakomodasi rencana pendirian bank Syariah tersebut. Secara garis besar, bank Syariah tersebut dibagi menjadi dua, yakni Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank ) dan Lembaga Investasi dalam bentuk International Holding Companies. Pada periode tahun 1970 -an negara Islam telah banyak yang mendirikan lembaga keuangan syariah, seperti Mesir, Sudan, Dubai, Pakistan, Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia, dan termasuk Indonesia pada dekade 1990- an.
Di Indonesia pada tahun 1990 mulai ada prakarsa mengenai bank syariah, diawali adanya Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan pada tanggal 18-20 Agustus 1990 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasil lokakarya tersebut dilanjutkan dan dibahas dalam Musyawarah Nasional IV (MUNAS IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Hasil Munas membentuk Tim Perbankan MUI yang bertugas mensosialisasikan rencana pendirian bank syariah di Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 1 Nopember 1991, tim ini berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai beroperasi sejak September 1992. Pada awalnya kehadiran BMI belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan. Namun dalam perkembangannya, ketika BMI dapat tetap eksis ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, telah mengilhami pemerintah untuk memberikan perhatian dan mengatur secara luas dalam undang-undang, serta memacu segera berdirinya bank-bank syariah lain baik dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maupun Windows Syariah untuk bank umum.
Kehadiran BMI pada awalnya diharapkan mampu untuk membangun kembali sistem keuangan yang dapat menyentuh kalangan bawah (grass rooth). Akan tetapi pada prakteknya terhambat, karena BMI sebagai bank umum terikat dengan prosedur perbankan yang telah dibakukan oleh undang-undang. Sehingga akhirnya dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah. Namun dalam realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik modal. Sehingga komitmen untuk membantu derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala baik dari sisi hokum maupun teknis. Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dan dengan BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis.
Dari persoalan diatas, mendorong munculnya lembaga keuangan syariah alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi juga sosial. Juga lembaga yang tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagian kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan penghisapan pada mayoritas orang, tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Lembaga yang terlahir dari kesadaran umat dan ditakdirkan untuk menolong kaum mayoritas, yakni pengusaha kecil /mikro. Lembaga yang tidak terjebak pada permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama. Lembaga yang tidak terjebak pada pikiran pragmatis tetapi memiliki konsep idealis yang istiqomah. Lembaga tersebut adalah Baitul Māl Wa Tamwil (BMT).
BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan, yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya pada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sector keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.
BMT telah mampu menarik minat mereka yang berpendidikan. Dengan mengetahui fungsi baitul māl di jaman awal Islam, maka sebenarnya mereka yang telah terlibat dalam BMT diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan lembaga baitul māl. Menempatkan dominasi peran BMT sebagai lembaga keuangan syariah dan atau sebagai lembaga ekonomi sektor riil, dapat menjadi suatu ijtihad ummat sebagai reaksi terhadap berbagai persoalan ekonomi, terutama marjinalisasi peran ekonomi, terutama marjinalisasi peran ekonomi ummat di Indonesia.
3. Azas dan Dasar Hukum BMT
BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan/koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme.
Tujuan dari BMT adalah untuk menyediakan dana murah dan cepat guna pengembangan usaha kecil bagi anggotanya. BMT juga bertujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Pada awalnya BMT adalah sebuah organisasi informal dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yaitu suatu lembaga yang melakukan penghimpunan dana dari anggota dan diperuntukkan bagi anggota. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mencontoh proyek yang sering dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan masyarakat.Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistim operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah.
Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Juga dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya BMT ( Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah). Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja, sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai.
Peraturan operasional bank syari’ah berdasarkan undang-undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dengan ketentuan pelaksanaannya seperti PP Nomor 71 tahun 1992 tentang BPR serta PP Nomor 72 tahun 1992 yang mengatur mengenai bank dengan prinsip bagi hasil. Kemudian Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tersebut telah diganti dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.
Gerakan BMT dicanangkan sebagai gerakan nasional oleh presiden Soeharto pada pembukaan silaknas ICMI di Jakarta pada tanggal 7 Desember 1995. Dalam beberapa tahun kemudian BMT dibina dan dikembangkan oleh PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) yang merupakan badan pekerja dari YINBUK (Yayasan Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil). YINBUK didirikan pada tanggal 13 Maret 1995 dengan tujuan untuk mengembangkan BMT secara meluas dan sehat.Upaya yang dilakukan PINBUK dengan beberapa langkah kelembagaan antara lain, berupa kerjasama dengan BI sejak 1995 melalui Proyek Hubungan Kerjasama (PHBK) dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Seiring dengan perkembangan keberadaan BMT, selanjutnya PINBUK tidak lagi menjadi satu-satunya perintis dan pendukung pendiriannya. Ormas Islam atau lembaga keislaman juga mengambil peran mereka dalam memunculkan BMT-BMT baru. Ormas itu antara lain ICMI, MUI, NU dan Muhammadiyah. Bahkan sejak tahun 2005 pendirian BMT telah bergeser kepada perusahaan bisnis yang disokong oleh seorang investor kuat atau kelompok bisnis. Tanda-tandanya dapat dilihat dari kepemilikan dan kemunculan kantor kas-kantor kasnya dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat. Pada sisi legalitasnya terdapat pergeseran pengakuan kewenangan legalitasnya yang semula diberikan oleh PINBUK dengan bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan PHBK BI beralih menjadi kewenangan sepenuhnya Departemen Koperasi sehingga yang bertanggungjawab membinanya secara legal tetaplah departemen koperasi.
B. Struktur Organisasi dan Mekanisme Operasional
1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi BMT menunjukkan adanya garis wewenang dan tanggungjawab, garis komando serta cangkupan bidang pekerjaan masing-masing. Struktur ini menjadi sangat penting supaya tidak terjadi benturan pekerjaan serta memperjelas fungsi dan peran masing-masing bagian dalam organisasi. Tentu saja masing-masing BMT dapat memiliki karakteristik tersendiri, sesuai dengan besar kecilnya organisasi. Namun demikian, struktur organisasi dalam setiap BMT terdiri dari :
- Musyawarah Anggota Tahunan
- Dewan Pengurus
- Dewan Pengawas Syariah
- Dewan Pengawas Manajemen
- Pengelola yang terdiri minimal terdapat Manajer, Marketing,Accounting dan Kasir




Gambar 3.1
Struktur Organisasi BMT


2. Mekanisme Operasional
a. Musyawarah Anggota Tahunan
Musyawarah ini dilaksanakan setiap tahun sekali, yang dihadiri oleh semua anggota atau perwakilannya. Musyawarah ini merupakan kekuasaan tertinggi dalam sistem manajemen BMT dan oleh karenanya berhak memutuskan :
- Pengesahan atau perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi;
- Pemilihan, pengangkatan dan sekaligus pemberhentian pengurus dan pengawas, baik pengawas syariah maupun manajemen;
- Penetapan anggaran pendapatan dan belanja BMT selama satu tahun ;
- Penetapan visi dan misi organisasi ;
- Pengesahan laporan pertanggungjawaban pengurus tahun sebelumnya;
- Pengesahan rencana program kerja tahunan.

b. Dewan Pengurus
Dewan Pengurus BMT pada hakekatnya adalah wakil dari anggota dalam melaksanakan hasil keputusan musyawarah tahunan. Oleh karenanya, pengurus harus dapat menjaga amanah yang telah dibebankan kepadanya. Amanah ini nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada anggota pada tahun berikutnya. Masa kerja pengurus sangat tergantung pada kepentingan organisasi. Artinya BMT dapat menetapkan masa kerjanya 2,3,4 atau 5 tahun. Secara umum fungsi dan peran serta tanggungjawab pengurus dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Perencanaan
Dewan pengurus berfungsi menyusun perncanaan, baik jangka panjang maupun jangka pendek, baik keuangan maupun non keuangan, sehingga diperlukan pengurus yang memiliki wawasan luas, pengetahuan, dan pengalaman bisnis, serta rasa optimis yang tinggi.
2) Personifikasi badan hukum
Dewan Pengurus merupakan personifikasi BMT baik dimuka maupun diluar peradilan sesuai dengan keputusan musyawarah anggota. Pengurus pula yang paling bertanggungjawab terhadap pelaksanaan AD/ART organisasi.
3) Penyediaan sumber-sumber yang diperlukan
Dewan Pengurus harus mengusahakan berbagai sumber (resources) yang diperlukan agar BMT dapat berjalan dengan baik.
4) Personalia
Dewan pengurus pada dasarnya memegang kuasa atas jalannya BMT, namun karena keterbatasan tenaga kerja dan waktu, pengurus dapat mengangkat wakilnya si pengelola. Namun hal ini tidak mengurangi sedikitpun tanggungjawabnya.
5) Pengawasan
Karena pengurus telah menunjuk pengelola dalam menjalankan operasional rutin, maka fungsi pengurus terpenting berada pada fungsi pengawasan. Fungsi melekat pada semua lini kepengurusan. Baik secara bersama-sama maupun perbidang, pengurus harus melakukan fungsi ini secara berkala.

c. Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah memiliki tugas utama dalam pengawasan BMT terutama yang berkaitan dengan sistem syariah yang dijalankannya. Landasan kerja dewan ini berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama tersebut meliputi :
1) sebagai penasehat dan pemberi saran dan atau fatwa kepada pengurus dan pengelola mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah seperti penetapan produk.
2) sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional atau Dewan Pengawas Syariah Propinsi.
3) mewakili anggota dalam pengawasan syariah.
d. Dewan Pengawas Manajemen
Dewan pengawas Manajemen merupakan representasi anggota terutama berkaitan dengan operasional kerja pengurus. Masa kerja pengawas sama dengan pengurus. Anggota dewan pengawas manajemen dipilih dan disyahkan dalam musyawarah anggota tahunan. Setiap anggota BMT memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi dewan pengawas manajemen. Fungsi dan peran utamanya meliputi :
1) mewakili anggota dalam memberikan pengawasan terhadap kerja pengurus terutama berkaitan dengan pelaksanaan keputusan musyawarah tahunan;
2) memberikan saran, nasehat, dan usulan kepada pengurus;
3) mempertanggungjawabkan hasil kerja pengawasannya kepada anggota dalam musyawarah tahunan.
e. Pengelola
Pengelola merupakan satuan kerja yang dibentuk oleh dewan pengurus. Mereka merupakan wakil pengurus dalam menjalankan fungsi operasional keseharian. Ia bertanggungjawab kepada pengurus dan jika diminta dapat memberikan penjelasan kepada anggota dalam musyawarah anggota. Satuan kerja pengelola dipimpin oleh manajer atau direktur diusulkan oleh pengurus dan ditetapkan dalam musyawarah tahunan. Namun demikian, pengurus dapat mengusulkan diadakan musyawarah bersama pengawas untuk memberikan dan mengganti direksi atau manajer, jika nyata-nyata manajer /direktur telah melanggar aturan BMT.
Satuan kerja pengelola dapat terdiri minimal : manajer, pembukuan, marketing dan kasir. Dalam tahap awal dan dalam permodalan yang masih sangat terbatas, fungsi pemasaran dapat dirangkap oleh manajer, sehingga strukturnya hanya terdiri dari manajer, kasir dan pembukuan.
1) Manajer/ Direktur
- Ia merupakan struktur pengelola yang tertinggi oleh karenanya ia yang paling bertanggungjawab terhadap operasional BMT ;
- Manajer berfungsi merumuskan strategi dan taktik operasional dalam rangka melaksanakan keputusan pengurus atau keputusan musyawarah tahunan;
- Ia dapat juga mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan karyawan ;
- Ia juga melakukan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja karyawan ;
- Manajer melaporkan kinerjanya kepada pengurus dalam periode waktu tertentu minimal enam bulan sekali.

2) Pembukuan
- Staf khusus pembukuan sedapat mungkin diangkat dari mereka yang memahami masalah akuntansi keuangan syariah;
- Bagian ini berfungsi membuat laporan keuangan yang minimal meliputi : laporan neraca, laba rugi, dan perubahan modal dan arus kas;
- Ia dapat memberikan masukan kepada manajer terutama yang berkaitan dengan penafsiran atas laporan keuangan.
- Bagian ini juga berfungsi memberikan laporan perkembangan arus kas pembiayaan dan penghimpunan dana pada setiap periode seperti harian, mingguan, atau bulanan.
- Bagi organisasi yang sudah berkembang, dapat membentuk unit administrasi tersendiri yang meliputi bagian administrasi pembiayaan, dan bagian administrasi tabungan.
- Bagian administrasi pembiayaan akan berfungsi menyediakan berbagai kelengkapan untuk realisasi pembiayaan, dokumentasi, serta informasi berbagai hal tentang kondisi pembiayaan tersebut. Ia juga berfungsi mencatat angsuran supaya sesuai antara kartu angsuran yang dibawa nasabah /anggota dengan catatan BMT.
- Bagian administrasi tabungan akan berperan dalam penyiapan buku tabungan bagi anggota baru, pencatatan saldo pada kartu monitoring, pemindahbukuan bagi hasil, serta catatan atas perilaku anggota penabung termasuk jadwal pengambilan tabungan dan informasi deposito jatuh tempo dan pengambilan tabungan besar.
3) Marketing /Pemasaran
- Bagian ini menjadi ujung tombak BMT dalam merebut pasar;
- Ia berfungsi dalam merencanakan sistem dan strategi pemasaran meliputi : segmentasi pasar, taktis operasional, sampai pada pendampingan anggota/nasabah;
- Bagian ini juga berfungsi untuk melakukan analisis usaha anggota /nasabah calon peminjam;
- Menarik kembali pinjaman yang sudah digulirkan;
- Menjemput simpanan dan tabungan anggota ;
- Dalam keadaan tertentu (pada tahap awal dan modal masih terbatas) fungsi marketing dapat dirangkap oleh manajer/direktur;
- Bila organisasi yang sudah berkembang, bagian marketing dapat dibagi menjadi bagian funding atau menghimpun dana, dan financing atau pembiayaan. Selanjutnya pada bagian funding dapat terdiri dari funding officer–funding officer dan pada bagian financing dapat terdiri dari account officer-account officer. Kedua bagian ini dipakai oleh kepala bagian marketing.
4) Kasir /Teller
- Bagian ini merupakan yang berkaitan langsung dengan bagian keuangan;
- Pada setiap hari, kasir harus melakukan pembukuan dan penutupan kas;
- Bagian ini bertugas membuat, merencanakan kebutuhan kas harian, mencatat semua transaksi kas serta menerapkannya dalam catatan uang keluar dan masuk;
- Staf khusus pada kasir harus terpisah dengan bagian pembukuan;
- Pada tahap awal staf kasir dapat berfungsi ganda yaitu sebagai fungsi pelayanan nasabah atau anggota;
- Namun pada perkembangannya dapat dibentuk staf khusus yang akan menangani masalah jasa pelayanan anggota. Bagian ini merupakan bagian terdepan dari pelayanan BMT. Ia akan memberikan penjelasan secukupnya terhadap berbagai hal tentang BMT kepada calon anggota /nasabah.
Dalam perkembangannya struktur organisasi BMT dapat dirubah dan disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Pengembangannya struktur tersebut dapat menjadi :
- Direktur
- Manajer Operasional yang membawahi bagian kasir, pembukuan, bagian administrasi pembiayaan- tabungan dan bagian pelayanan nasabah /anggota.
- Manajer Marketing yang membawahi bagian funding officer (FO), account officer (AO), dan remedial (penagihan).
- Bagian pembukuan yang akan membawahi : internal audit dan staf pembukuan.

3. Produk dan Jasa BMT
Pendirian BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang tidak bisa dijamah oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini perbankan masih kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini karena jenis usaha ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Belum lagi karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta kondisi administrasi keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
Kegiatan utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai syariah.
Dasar-dasar pengelolaan BMT dengan sistim syari’ah tidak menggunakan bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian mengenai Q.S. 2 :278-279, 2 : 275-276, 3:130, 4:29, dan 30:39. Apalagi setelah MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa bunga bank haram hukumnya sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan gagasan Islamisasi perbankan, maka BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil sebagai pengganti sistim bunga.
Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran pandangan mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai satu kesatuan dalam kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya teori dengan praktik atau antara ilmu dengan kenyataan.
Dalam pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank syari’ah. BMT juga menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang kepadanya untuk mengajukan permohonan dana. Besar kecil dana dalam permohonan pengusaha itu pada akhirnya mendapatkan ketetapannya dari pihak BMT.
Jenis-jenis layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis layanan bank syari’ah, yang dapat dibagi menjadi 3 :
a. Sistim jual beli
1) Ba’i Bitsaman Ajil
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara mengangsur.

2) Murobahah
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh tempo/sekaligus.
3) Ba’i As-Salam
Penjualan hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan anggota dengan kriteria tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang muka kemudian barang dikirim belakangan (setelah jadi).
4) Jual beli Istisna’
Penjualan hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam proses pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur.
5) Ijaroh
Pembelian suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih dahulu setelah masa sewa habis maka anggota membeli barang sewa tersebut.
b. Sistim Bagi Hasil
1). Musyarokah
Kerjasama penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya sesuai kesepakatan bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek tertentu.
Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarokah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan. Kerugian harus dibagi antara para anggota secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarokah akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari lainnya dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam penentuan nisbah dimana anggota BMT sebagai pengelola usaha mendapatkan porsi yang lebih tinggi.
2). Mudharabah
Pemberian modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola usaha/proyek yang dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan. Modal 100 % dari shohibul maal, tidak terdapat jadwal angsuran, bagi hasil tidak ditetapkan dimuka dan sifatnya tidak tetap, tergantung fluktuasi keuntungan yang diperoleh.
BMT sebagai penyandang dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib /anggota melakukan kesalahan yang disengaja, lalai/menyalahi perjanjian. Dalam akad ini biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

c. Sistim Jasa
1). Qord
Pemberian pinjaman untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat konsumtif. Pengembalian pinjaman sesuai dengan jumlah yang ditentukan dengan cara angsur atau tunai. Contohnya untuk biaya rumah sakit, biaya pendidikan, biaya tenaga kerja.
2). Al-Wakalah
Pemberian untuk melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan waktu tertentu. Penerima kuasa mendapat imbalan yang ditentukan dan disepakati bersama.
3). Al-Hawalah
Penerimaan pengalihan utang/piutang dari pihak lain untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat konsumtif. BMT sebagai penerima pengalihan hutang /piutang akan mendapatkan fee dari pengaturan pengalihan (management fee).
4). Rahn
Pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang dengan membayar jatuh tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum) ditanggung oleh penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik sendiri (rahin), untuk itu hendaknya rahin bersedia mengisi surat pernyataan kepemilikan.
5). Kafalah
Pemberian garansi kepada anggota yang akan mendapatkan pembiayaan (pelaksanaan suatu usaha/proyek) dari pihak lain. BMT mendapatkan fee dari anggota sesuai dengan kesepakatan bersama.
Sejalan dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan suatu penegasan terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti bunga bank. Prinsip bagi hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam upaya mencari pengganti bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
Didalam pembahasan selanjutnya hanya akan dibatasi pembahasan mengenai pembiayaan mudharabah.

C. Al-Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya. Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad.
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’.
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “. Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Tabrani).
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah).
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100 % modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Sudarsono mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.

2. Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung resiko. Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya (100 %) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0 % modal. Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai pertimbangan.
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)” atau dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
3. Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).

a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.

D. Akad Perjanjian
1. Akad Perjanjian Menurut KUHPerdata dan Hukum Islam
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Kata al-‘aqdu terdapat dalam QS. Al Maidah (5) ayat 1 bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron (3) : 76, yaitu “ sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa “.
Perikatan dalam hukum Perdata Barat diambil dari istilah bahasa Belanda “Verbintenis”. Istilah Hukum Perdata ini mencakup semua ketentuan dalam buku ketiga dari KUH Perdata yang termasuk ikatan hukum yang berasal dari perjanjian dan ikatan hukum yang terbit dari undang-undang. Ikatan hukum yang terbit dari undang-undang ini pun ada yang terbit dari undang-undang saja dan ada yang dari undang-undang karena perbuatan manusia yang bisa berupa perbuatan halal maupun yang melawan hukum.
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai : “pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya”.
Menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-‘aqdu) melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut :
a. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janji tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Ali Imran : 76.
b. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
c. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan ‘akdu’ oleh Al Qur’an terdapat dalam QS Al-Maidah (5) :1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu tetapi ‘akdu.

Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu “. Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah “ suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan diantara orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.
Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan KUH Perdata adalah tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan menimbulkan perikatan diantara mereka. Menurut Abdul Gani Abdullah, dalam Hukum Perikatan Islam, titik tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati, dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah ‘aqdu (perikatan).

2. Syarat dan Rukun Akad
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”, sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”. Dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu” Definisi syarat adalah “ sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri.
Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam, terdapat beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh. Dikalangan mazhab Hanafi bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain (subyek akad) dan mahallul- ‘aqd (obyek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd, dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah maudhu’ul ‘aqd (unsur-unsur penegak akad).
Sedangkan Ash-Shidieqy berpendapat bahwa, keempat hal tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.
a. Subyek Perikatan (Al’Aqidain)
Al’aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subyek hukum. Subyek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum seringkali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subyek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam.
1). Manusia
Manusia sebagai subyek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata “Mukallaf” berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang dibebani hukum” yang dalam hal ini adalah orang-orangyang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah SWT baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.
Pada kehidupan seseorang ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity). Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 tahap subyek hukum (Stages of Legal Capacity).
a). Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Sebagai subyek hukum, janin disebut “Ahliyyah Al-Wujub Al Naqisah”. Dalam tahap ini, janin dapat memperoleh hak namun tidak mengemban kewajiban hukum
b). Marhalah al-Saba (Childhood Stage)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut “Al-SabiyGhayr Al-Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui walinya (Guardian).
c). Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage)
Tahap ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Aqil-Baligh). Pada tahap ini seseorang disebut “Al Sabiy Al-Mumayyiz” (telah bisa membedakan yang baik dan yang buruk). Seseorang yang mencapai tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subyek hukum (tanpa ijin dari walinya). Oleh karena itu segala aktivitas /transaksi penerimaan hak yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini adalah sah (valid). Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, seorang mumayyiz sudah memiliki kecakapan bertindak hukum meskipun masih kurang atau lemah sehingga dapat disebut “ahliyyah al-ada an-naqisah”. Sehingga tindakan hukum atau transaksi yang dilakukan oleh seorang anak yang mumayyiz ini dapat dianggap sah selama tidak dibatalkan oleh walinya.
d). Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty)
Tahap ini seseorang telah mencapai Aqil-Baligh dan dalam keadaan normal ia telah dianggap menjadi mukallaf. Kapan seseorang dianggap telah baligh ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama menyebutkan usia 15 tahun, sedangkan sebagian kecil ulama madzhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun, ada yang memudahkan perkiraan baligh ini dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu ketika seorang perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah mengalami perubahan suara dan fisiknya. Seseorang dalam tahap ini disebut “Ahliyyah Al-ada Al-Kamilah”. Orang tersebut telah memperoleh kapasitas penuh sebagai subyek hukum. Intelektualitasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti sebaliknya.
Mengenai tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama kontemporer, menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi seseorang lagi sebagai tahapan ke-5 (lima) yaitu :
e). Daur al-Rushd (Satge of Prudence)
Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subyek hukum, dikarenakan telah mampu bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya kebijaksanaan (Rushd/Prudence) seseorang dapat dicapai secara bersamaan, sebelum atau sesudah baligh, bila telah memiliki sifat-sifat kecakapan berdasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan bisnis, usaha, atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah mencapai tahapan Daur ar-Rushd ini disebut orang yang Rasyid. Diperkirakan tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia 19,20,atau 21 tahun.

Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang dapat dibuktikan. Tindakan hukum seseorang yang telah baligh dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya halangan-halangan (implements) sebagai berikut :
a) Minors (masih dibawah umur) atau safih ;
b) Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau gila);
c) Idiocy/’Atah (Idiot);
d) Prodigality/Safah (royal,boros);
e) Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran);
f) Sleep/Naum ( tertidur dalam keadaan tidur gelap);
g) Error/Khata dan Forgetfulness/Nisyan (kesalahan dan terlupa) ; dan
h) Acquired Defects/’Awarid Muktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan (akal) atau kehilangan). Kerusakan atau terganggunya akal seseorang dapat dikarenakan oleh Intoxication/Sukr (mabuk, keracunan obat, dan sebagainya) atau karena Ignorance /Jahl (ketidaktahuan dan kelalaian).
Selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad kondisi psikologis perlu juga diperhatikanuntuk mencapai sahnya suatu akad. Ya’cub mengemukakan syarat-syarat subyek akad adalah sebagai berikut :
a) Aqil (berakal)
Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur, sehingga dapat mempertanggungjawabkan transaksi yang dibuatnya.
b) Tamyiz (dapat membedakan)
Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
c). Mukhtar (bebas dari paksaan)
Syarat ini didasarkan oleh ketentuan QS. An-Nisa (4) : 29 dan Hadits Nabi SAW yang mengemukakan prinsip An-Taraddin (rela sama rela). Hal ini berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan tekanan.

2). Badan Hukum
Badan hukum menurut Wirjono adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan atau yayasan.
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat dari beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam :
- QS An Nisa (4):12 disebutkan “ Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu……..”
- QS. Shād (38) :24, disebutkan “ Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman………………”
- Pada hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “ Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya”.
Adanya kerjasama diantara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subyek hukum yang disebut dengan badan hukum.

b. Obyek Perikatan (Mahallul ‘Aqd)
Mahallul’aqd adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah maupun benda tidak berwujud seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul’aqd adalah sebagai berikut :
1) Obyek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
Suatu perikatan yang obyeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih dalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Terdapat pengecualian terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna dan musyaqah, yang obyeknya diperkirakan ada dimasa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamallat.
2) Obyek perikatan dibenarkan oleh syara’.
Pada dasarnya benda-benda yang menjadi obyek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan kesucian obyek akad. Selain itu jika obyek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan, adalah tidak dapat dibenarkan pula, batal.
3) Obyek ada harus jelas dan dikenali.
Suatu benda yang menjadi obyek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika obyek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya. Jika obyek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan, ketrampilan, dan kepandaiannya dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli, terampil, mampu maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya.
4) Obyek dapat diserahterimakan.
Benda yang menjadi obyek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, disarankan bahwa obyek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah menyerahkannya pada pihak kedua. Untuk obyek perikatan yang berupa manfaat maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan.

c. Tujuan Perikatan (Maudhu’ul’Aqd)
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam hadits. Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut :
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan ;
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad; dan
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’;

d. Ijab dan Kabul (sighat al-‘aqd).
Sighat al’aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut :
1) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki ;
2) Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan
3) Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

Menurut Azhar Basyir, Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara yaitu secara :
a. Lisan.
Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas.
b. Tulisan.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
c. Isyarat.
Orang cacat misalnya tuna wicara, juga dimungkinkan untuk melakukan satu perikatan (akad) dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut mempunyai pemahaman yang sama.
d. Perbuatan.
Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling memahami suatu perbuatan perikatan dan segala akibat hukumnya, disebut dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima).

3. Hak dan Kewajiban dalam Akad
Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang saling bertimbal balik dalam suatu transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, begitupun sebaliknya, kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak lain. Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syarak. Berhadapan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya.
a. Hak
1). Pengertian hak.
Menurut kamus, terdapat banyak sekali pengertian dari kata hak. Salah satunya menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Arti lain adalah wewenang menurut hukum. Sedangkan menurut ulama mutākhirin “ hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan secara syara.” Sedangkan Mustafa Az-Zarqa mengatakan bahwa “hak adalah sesuatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif”. Ibnu Nujaim (ahli fiqh Madzhab Hanafi) mengatakan bahwa “ hak adalah sesuatu kekhususan yang terlindungi”.
2). Macam-macam hak.
Menurut ulama fiqh, dilihat dari segi pemilik hak, hak terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
a) Hak Allah SWT
Yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan Nya, seperti melalui berbagai macam ibadah, jihad, dan amar ma’ruf nahi munkar. Hak Allah disebut juga hak masyarakat karena karena hak Allah bertujuan untuk kemanfaatan umat manusia pada umumnya dan tidak dikhususkan bagi orang-orang tertentu. Seluruh hak Allah tidak dapat digugurkan baik melalui perdamaian (al-shulh), maupun pemaafan, dan tidak boleh diubah.
b) Hak Manusia
Hak ini pada hakekatnya ditujukan untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia. Mengenai hak manusia ini, seseorang boleh menggugurkan haknya, memaafkannya dan mengubahnya, dan boleh pula mewariskannya kepada ahli waris. Disini tampak adanya kebebasan berbuat dan bertindak atas dirinya sendiri.
c) Hak Gabungan antara hak Allah dan hak Manusia.
Mengenai hak gabungan ini, ada kalanya hak Allah lebih dominan, dan ada kalanya hak manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh hak Allah yang lebih dominan dalam masalah idah dan dalam hal menuduh zina tanpa bukti yang cukup. Sedangkan hak manusia yang lebih dominan adalah dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau penganiayaan dengan sengaja, dimana dapat diganti dengan diyat yang berupa pembayaran sejumlah harta oleh pihak pelaku sebagai ganti kerugian bagi pihak si korban.
3). Kewenangan Pengadilan
Ulama Fiqh membagi masalah ini dalam dua macam :
a) Haqq Diyāni (keagamaan)
Yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri (intervensi) oleh kekuasaan kehakiman. Misalnya dalam persoalan utang yang tidak dapat dibuktikan oleh pemberi utang karena tidak cukup alat bukti didepan pengadilan. Sekalipun tidak dapat dibuktikan didepan pengadilan, tanggungjawab yang berutang di hadapan Allah tetap ada dan dituntut pertanggung jawabannya di akherat kelak. Oleh sebab itu, bila lepas dari hak kekuasaan kehakiman, seseorang tetap dituntut dihadapan Allah dan dituntut hati nuraninya sendiri.
b) Haqq Qadhāi
Adalah seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilik hak itu mampu membuktikan haknya didepan hakim. Perbedaan antara Haqq Diyani dan Haqq Qadhāi terletak pada persoalan zahir (lahir) dan batin. Hakim hanya dapat menangani hak-hak yang lahir (tampak nyata) atau yang dapat dibuktikan saja. Sedangkan Haqq Diyani menyangkut persoalan-persoalan yang tersembunyi dalam hati yang tidak terungkap didepan pengadilan.
Dalam kaitan dengan kedua hak ini ulama fiqh membuat kaidah yang menyatakan “ Hakim hanya menangani persoalan-persoalan yang nyata saja, sedangkan Allah akan menangani persoalan-persoalan yang tersembunyi (yang sebenarnya) dalam hati.

b. Kewajiban
Kewajiban berasal dari kata “wajib” yang diberi imbuhan ke-an. Dalam pengertian bahasa kata wajib berarti : (sesuatu) harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan. Wajib ini juga merupakan salah satu kaidah dari hukum taklifi yang berarti hukum yang bersifat membebani perbuatan mukallaf. Adapun pemahaman kewajiban dalam pengertian akibat hukum dari suatu akad biasa diistilahkan dengan “iltizam”.
Secara istilah iltizam adalah :”Akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu”. Substansi hak sebagai taklif (yang menjadi keharusan yang terbebankan pada orang lain) dari sisi penerima dinamakan hak, sedang dari sisi pelaku dinamakan Iltizam yang artinya “keharusan atau kewajiban”. Jadi antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam satu konsep.

4. Penggolongan Akad
Menurut para ulama fiqih,secara garis besar akad dapat diklasifikasikan dalam berbagai segi :
a. Dari segi penamaannya, akad dibagi menjadi dua macam yaitu :
1) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perikatan.
2) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang jaman dan tempat, seperti istishna’, bai’al-wafa’, dan lain-lain.

b. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah.
2) Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya jual beli yang tidak perlu ditempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.

c. Dilihat dari maksud dan tujuannya, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Akad Tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari ” return” atau motif. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah hibah, wakaf, wasiat,ibra, wakalah, kafalah, hawalah, rahn,dan qirad.
2) Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk disisni adalah murabahah, salam, istisna’, dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudharabah dan musyarakah.

d. Dilihat dari akibat hukumnya, akad dibagi menjadi :
1) Akad pemberian hak milik, yaitu akad yang bertujuan memberikan hak milik seseorang kepada orang lain, baik berupa benda atau manfaat benda, baik dengan imbalan atau tanpa imbalan, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Pemberian hak milik dengan imbalan disebut akad tukar menukar (mu’awadhah), yang tanpa imbalan disebut akad kebajikan (tabarru’).
2) Akad pelepasan hak (isqath), yaitu melepaskan hak dengan atau tanpa ganti. Misalnya membebaskan pihak berutang dari kewajiban membayar hutang (Ibra’).
3) Akad pelepasan kekuasaan (ithlaq) yaitu akad yang bertujuan untuk melakukan sesuatu perbuatan kepada orang lain, Misalnya orang memberikan kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas nama orang yang mewakilkan.
4) Akad pengikatan (taqyid) yaitu akad yang bertujuan mengikat orang dari wewenang berbuat yang semula dimilikinya. Misalnya orang yang mewakilkan menghentikan kekuasaan wakilnya.
5) Akad persekutuan (syirkah), yaitu akad yang bertujuan bekerjasama untuk memperoleh suatu hasil /keuntungan. Misalnya persekutuan bagi hasil.
6) Akad pertanggungan (dhaman, takmin, atau tautsiq), yaitu akad yang bertujuan untuk memperkuat sesuatu akad lain, seperti akad gadai sebagai penguat akad utang piutang.

5. Berakhirnya Akad
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut :
a. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat,atau majelis.
c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi Riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannyapada hari Kiamat kelak.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
f. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang;
g. Karena kematian.
Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha mengenai masalah apakah kematian pihak-pihak yang melakukan akad mengakibatkan berakhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu serta sifat (watak) masing-masing.

6. Penyelesaian Perselisihan.
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya boleh dilakukan dengan 3 jalan, yaitu :
a. Shulhu ( jalan perdamaian).
Jalan pertama yang dilakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu akad adalah dengan menggunakan jalan perdamaian (shulhu) antara kedua pihak. Dalam fiqh pengertian shulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri sengketa. Disini tampak adanya pengorbanan dari masing-masing pihak untuk terlaksananya perdamaian. Jadi dalam perdamaian ini tidak ada pihak yang mengalah total ataupun penyerahan keputusan kepada pihak ketiga.
Perdamaian (shulhu) disyariatkan berdasarkan Al-Quran (QS. 49:9), Sunnah dan Ijma’. Umar ra pernah berkata : “ Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka”.
b. Tahkim (jalan arbitrase)
Istilah tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologis tahkim berarti pengangkatan seorang atau lebih, sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk menyelesaikan perkara bukan oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk langsung oleh dua orang yang bersengketa. Aktivitas penunjukan itu disebut tahkim, dan orang yang ditunjuk itu disebut hakam (jamaknya hukam). Penyelesaian yang dilakukan oleh hakam pada abad modern ini disebut dengan arbitrase.
Dasar hukum dari tahkim ini adalah : QS. An Nisa (4) : 35 , QS. Asy Syura (17) : 38, QS. Ali Imran (3) : 159, Hadits Nabi Riwayat Tarmizi dari Amru bin ‘Auf yang berbunyi : “ Kaum muslimin sangat terikat dengan perjanjiannya, kecuali persyaratan (perjanjian) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram “. Maksud dari hadits ini yaitu bahwa dalam perjanjian dapat dicantumkan klausul arbitrase.

c. Al-Qadha (Proses Peradilan).
Al-Qadha secara harfiah antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fiqh kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan mengikat. Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang mencakup perkara atau masalah keperdataan, termasuk didalamnya Hukum Keluarga, dan masalah tindak pidana. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini dikenal dengan qadhi (hakim).
Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat skema mengenai bagaimana sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan penyelesaiannya apabila perdamaian tidak dapat diperoleh, ke lembaga mana sengketa tersebut dapat diselesaikan.
Gambar 3.2
BAGAIMANA BISA TIMBUL SENGKETA


Penyelesaian serngketa melalui peradilan melewati beberapa proses, salah satu proses yang penting adalah pembuktian. Alat bukti menurut hukum Islam yaitu :
1) Ikrar (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu);
2) Syahadat (persaksian);
3) Yamin (sumpah);
4) Riddah (murtad);
5) Maktubah (bukti-bukti tertulis), seperti akta dan surat keterangan;
6) Tabayyun (upaya perolehan kejelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang memeriksa);
7) Alat bukti bidang pidana, seperti pembuktian secara kriminologi ;
Sedangkan alat bukti menurut Hukum Perdata pasal 164 HIR antara lain :
1) Alat bukti tertulis, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan ;
2) Keterangan saksi ;
3) Pengakuan; dan
4) Persangkaan hakim/pengetahuan hakim ;
Secara umum, alat bukti menurut hukum Islam dan hukum perdata sama. Letak perbedaan yang jelas terletak pada fungsi alat bukti sumpah (yamin) dalam hukum Islam dengan pengakuan pada hukum Perdata dimana dalam hukum Islam alat bukti sumpah adalah alat bukti yang berdiri sendiri (mutlak) dan mengikat sebagai bukti yang terkait (contoh : sumpah li’an) tanpa disertai petunjuk lain. Sedangkan menurut hukum Perdata sumpah adalah salah satu bentuk pengakuan yang menegaskan adanya pengaduan atau gugatan saja, sehingga sumpah tersebut harus disertai dengan petunjuk lainnya. Dalam Hukum Islam syarat-syarat saksi serta jumlah mereka telah jelas untuk masing-masing perkara, sedangkan dalam Hukum Perdata Barat tidak ditentukan demikian.

E. PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH
1. Pengertian Akad Pembiayaan Mudharabah
Akad mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni pihak pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung. Atau singkatnya, akad mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain.
Sedangkan menurut Muhammad, Mudharabah adalah suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau sema’nanya tertentu dalam jumlah, jenis dan karakternya (sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta (jaiz attashruf) kepada orang lain yang ‘aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan.
2. Syarat dan Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a. Syarat Akad Pembiayaan Mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas, perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami jaga /hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke dalam nilai uang.
2. Bahwa ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad.
3. Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4. Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau bebas.
b. Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Obyek mudharabah (modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab- qobul)
4. Nisbah keuntungan

Ad.3.1. Pelaku
Dalam akad mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak selaku pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada.
Ad.3.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Ad. 3.3. Persetujuan
Faktor ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana sedangkan pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Ad. 3.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor yang keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah. Faktor inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-māl mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.

3. Permasalahan dalam Penerapan Akad Mudharabah
a. Mengenai penentuan jangka waktu
Terdapat perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai penentuan jangka waktu dalam akad mudharabah. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan kalau seandainya Mudharabah ditentukan jangka waktu berlakunya, dan jika telah lewat masa berlakunya, maka akadnya dianggap batal dengan sendirinya, adalah diperbolehkan. Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan, penentuan itu tidak dibolehkan dan tidak sah. Karena melakukan usahanya dan merusak tujuan dari mudharabah, sebab mungkin ia tidak mendapat keuntungan dalam waktu yang ditentukan, padahal mungkin keuntungan baru akan didapatkan setelah lewat waktu yang telah ditentukan itu.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam penentuan jangka waktu berlakunya pengelolaan mudharabah dan lainnya sebenarnya dikembalikan kepada ‘urf (kondisi sosio kultural dan kebiasaan) para pengusaha dalam perdagangan. Oleh karena itu apa yang berlaku pada para pedagang yang merupakan suatu batasan (ketentuan) yang bermanfaat bagi kepentingan maka batasan itu diperbolehkan seperti masa berlakunya akad mudharabah, namun apa yang mereka anggap tidak relevan dan tidak bermanfaat maka tidak sah.

b. Kemungkinan Shahibul menarik modal mudharabah sewaktu-waktu
Mudharabah pada prinsipnya adalah akad jaiz (boleh dan tidak mengikat) dan bukan akad lazim (wajib, harus dan mengikat) menurut semua fuqaha madzhab. Oleh karena itu dibolehkan bagi kedua belah pihak (mudharib dan shāhibul māl) untuk membatalkannya kapanpun mereka mau, dengan syarat modal tersebut sudah dalam bentuk uang tunai.
Dengan demikian shahibul māl boleh menarik kembali modalnya sewaktu-waktu, dan mudharib mendapat kompensasi yang lazim/kompensasi dengan standar konvensional (ujroh mitsl) atau sesuai kesepakatan antar keduanya bila mudharib atau ‘amil telah memulai usaha kerjanya, sebab tidak boleh ada yang dirugikan atau mendapatkan bahaya dalam kepentingannya. Adapun jika modal tersebut masih berujud barang atau komoditi maka fasakh (penarikan modal atau pembatalan akad) tersebut dapat dilaksanakan tetapi mudharib masih memiliki kewenangan untuk mengelolanya sampai dapat menguangkannya agar menjadi jelas bagiannya.menurut Madzhab Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan madzhab Hambali membolehkan bagi kedua belah pihak untuk sepakat menjual barang tersebut atau membaginya.

c. Kemungkinan shahibul māl menetapkan syarat-syarat penggunaan modal mudharib
Para ulama telah sepakat membolehkan dan mengakui syarat-syarat atau ketentuan yang ditetapkan shahibul māl dalam penggunaan modal mudharabah dan mereka mewajibkan kepada mudharib selaku ‘amil untuk menepatinya selama bermanfaat bagi kepentingan syarikat dan tidak bertentangan dengan kaidah dan hukum syarikat.Karena firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 1 dan hadits Rasulullah SAW yang artinya : “ orang-orang muslim terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.

d. Kemungkinan Mudharib membatalkan akad mudharabah sewaktu-waktu
Mudharib dapat membatalkan akad mudharabah sewaktu-waktu sebagaimana shahibul māl dengan syarat sepengetahuan pihak mitranya untuk membatalkan akad dan modal berbentuk uang tunai. Adapun modal berbentuk barang, jika ia menuntut pembatalan, maka supaya menunggu sampai modal dan aset tersebut menjadi tunai, dengan demikian menjadi jelas keuntungan atau kerugian usaha tersebut.

e. Kemungkinan shahibul māl menetapkan sanksi dalam akad mudharabah kepada mudharib bila ia melanggar syarat-syarat shahibul māl.
Shahibul māl diperbolehkan untuk menetapkan sanksi yang akan diberlakukan kepada mudharib bila ia melanggar syarat-syarat shahibul māl. Sebab hal itu termasuk dalam kesepakatan bersama yang harus dipenuhi dan ditepati, maka jika melanggar harus menanggung akibatnya dan menjamin kerugian yang menimpa modal atau kepentingan shahibul māl. Sebab ia adalah wakil dari shahibul māl dalam menjalankan modal, maka tindakannya yang terkait dengan mudharabah harus sesuai dengan ketentuan atau syarat yang ditetapkan oleh muwakkil dalam hal ini shahibul māl.

F. Nisbah Bagi Hasil
1. Pengertian Bagi Hasil
Menurut kamus bahasa Indonesia, bagi hasil diartikan sebagai pemberian perolehan suatu usaha kepada mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja pengelolaan dalam jumlah yang ditentukan bersama sebelumnya. Secara rinci pengertian kata hasil menunjuk pada perolehan atau pendapatan.
Disini bagi hasil dapat mengandung pengertian bagi perolehan revenue sharing bagi untung rugi profit-and loss sharing dan bagi untung (profit sharing). Tetapi dalam tehnik penghitungan, dikenal dua istilah bagi hasil yang terdiri dari bagi untung (profit sharing) dan bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi untung profit sharing adalah pembagian keuntungan usaha yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Didalam BMT, pola ini juga digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaganya pada penabung (depositor).
Bagi hasil (revenue sharing) ialah bagi hasil yang dihitung dari seluruh total pendapatan pengelolaan dana. Demikian juga, pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan Islam seperti BMT. Karena itu sistim bagi hasil pada BMT berarti sistim yang diterapkan dalam ekonomi yang diatas namakan Islam yang menekankan pada pembagian hasil usaha yang besarannya sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terkait. Dalam perkembangannya Lembaga Keuangan Syariah biasanya memberlakukan pola bagi hasil itu untuk pembiayaan perdagangan. Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah (syirkah). Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang mengambil bentuk bunga.
Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 3.1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA BAGI HASIL
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung a.Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan ganti rugi
b.Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. c.Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d.Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”. d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
f.Jika terjadi kerugian ditanggung nasabah saja. f. Jika terjadi kerugian ditanggung kedua belah pihak, nasabah dan lembaga.

Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul māl dengan mudharib. Dengan demikian semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul māl dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul māl telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.
Secara umum bagi hasil dalam mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.3. Bagi Hasil dalam Mudharabah


Perjanjian Bagi Hasil
Keahlian/ Modal 100% Ketrampilan




Nisbah X % Nisbah X%




( sumber : Antonio, 1997:94) pengembalian modal
pokok

Implementasi konsep pembiayaan bagi hasil akan menimbulkan konsekuensi lebih lanjut bahwa seluruh kerugian dalam usaha yang dibiayai akan ditanggung oleh bank (shahibul māl) , kecuali jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian nasabah atau melanggar persyaratan yang telah disepakati. Selain itu juga pihak shahibul māl harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian nasabah sejak awal, sehingga keduanya cenderung bekerjasama untuk mengatasi masalah yang timbul.

2. Nisbah Keuntungan
Nisbah keuntungan adalah proporsi pembagian keuntungan dari hasil aktivitas mudharabah. Nisbah harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Penentuan nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan pada porsi setoran modal, walaupun dapat juga bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal.
Ketentuan bagi untung dan bagi rugi merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Apabila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu.
Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian Madzhab Syafi’i, keuntungan harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum dibagikan). Sedangkan, Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali menyebut, bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan secara tunai kepada kedua pihak.
Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul māl, namun kebanyakan ulama menyetujui bila kedua belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung, bila keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami kerugian, sebagian ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta menutupi kerugian tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.
Keuntungan adalah milik bersama antara shahibul māl dan mudharib, karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan membutuhkan, maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah masing-masing.
Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah mudharib dapat lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahibul māl tergantung pada kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahibul māl dan mudharib) harus dalam jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa seperempat (25%) atau setengah (50 %) bagi mudharib misalnya, maka hal itu sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya adalah bagi shahibul māl, semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, baik nisbah masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan harus ditepati. Sebab umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati.





BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa :
1. Pada waktu melakukan akad tidak semua nasabah memahami maksud pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi hasilnya. Hal ini didasarkan pada 6 hal yang dijadikan tolok ukur penelitian oleh peneliti dalam mengukur tingkat pemahaman nasabah yaitu pemahaman nasabah mengenai akad pembiayaan mudharabah dan nisbah bagi hasil, pemahaman mengenai nisbah bagi hasil, pemahaman mengenai kewajiban membuat laporan perkembangan hasil usaha nasabah setiap bulan, pemahaman mengenai sistem pengelolaan modal, pemahaman mengenai kesepakatan prosentase penentuan bagi hasil, dan pemahaman penyelesaian sengketa.
2. Bahwa adanya ketidakpahaman nasabah mengenai maksud dan prosedur dalam akad pembiayaan mudharabah ini menurut peneliti bisa menimbulkan sengketa antara pihak BMT dengan nasabah. Hal ini dikarenakan ketidakpahaman nasabah akan menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak BMT sebagai shahibul māl dengan pihak nasabah selaku mudharib.
3. Bahwa tidak semua nasabah mengerti mengenai prosedur penyelesaian apabila terjadi sengketa antara pihak BMT dengan nasabah. Sebagian nasabah tidak memahami bahwa akad yang dilakukan menimbulkan hak dan kewajiban yang mempunyai akibat hukum bagi kedua belah pihak. Sebagian nasabah mempunyai persepsi bahwa penyelesaian sengketa cukup hanya dengan jalan damai saja seperti yang dilakukan selama ini, dan tidak memperhatikan bahwa didalam akad telah pula disebutkan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan di Pengadilan Agama.
B. Saran-saran
1. Bahwa dalam memberikan suatu layanan pembiayaan mudharabah dengan suatu akad, pihak BMT perlu lebih meningkatkan atau mengintensifkan dalam menjelaskan maksud akad tersebut, termasuk mengenai prosedur pengelolaan modalnya, pembuatan laporannya, dan juga pengertian bagi hasilnya secara lebih terperinci, sehingga lebih memudahkan bagi nasabah untuk melakukan hak dan kewajibannya dengan benar. Bisa juga diberikan tambahan fasilitas pendampingan / bimbingan bagi nasabah yang membutuhkan.
2. Bahwa perlu lebih disosialisasikan bahwa akad yang dilakukan mempunyai konsekuensi hukum, dimana apabila ada perselisihan / sengketa, jika jalan damai tidak diperoleh kesepakatan, maka sesuai akad yang sudah disepakati, bisa diselesaikan melalui jalur hukum yaitu melalui Pengadilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi.I Cet I, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.
Karim, Adiwarman, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 2, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.
Al Jaziri, Kitab al- fiqh ‘ala mazahib al- Arba’ah, Juz III, Beirut : Dar al-Fikr, 1990.
Az Zarqa, Musthafa Ahmad, al fiqh fi Tsubih al Jadi, juz I, Beirut: Dar-al Fikr,1989.
Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet.1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Dahlan, Ahmad, Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Bina Artha Tegal: Studi Kasus Tahun 1996-2001, Tesis, Yogyakarta : MSI UII, 2002.
Amiruddin, Studi Perbandingan Pelaksanaan Prinsip Mudarabah pada Koperasi Pondok Pesantren al-Muslim dan Lembaga Keuangan Syariah PT Bank Perkreditan Syariah al-Mabrur Ponorogo, Tesis, Yogyakarta: MSI UII, 2003.
Subroto, Mudarabah Studi atas Teori dan Aplikasinya pada BMT di Ponorogo, Tesis, Yogyakarta : MSI UII, 2004.
Hikmatullah, Mudarabah Suatu Sistim Ekonomi Alternative tanpa Riba : Studi tentang Perspektif Islam Terhadap Ekonomi , Tesis, Yogyakarta : MSI UII, 2003.
Choudhury, Masudul Alam, Contributions to Islamic Economic Theory : a Study in Social Economics, New York : St. Martin’s Press, 1986.
Satar, Zaidi , Resource Mobilization and Investment in An Islamic Economic Framework, U.S.A : the international institute of islamic thought, 1412 H-1992 M.
Rahman, Afazlur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 4, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996.
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Cet-1, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003.
Prakosa, Moedigdo Sigit, Permasalahan Penerapan Mudharabah di Bank Syari’ah, Makalah disampaikan pada diskusi rutin Forum Pemberdayaan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: p.3.
Djamil, Faturrahman, “Hukum Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et.al., cet.1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2, Yogyakarta: Ekonisia, 2004.
Ilmi, Makhalul, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cet.1, Yogyakarta: UII Press, 2002.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Watamwil, Yogyakarta: UII Press, 2004.
PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, Jakarta: PT. Bina Usaha Indonesia, tt.
Raharjo, M. Dawam, Perspektif Dkelarasi Makkah, Menuju Ekonomi Islam, Bandung: Mizan, 1989.
Muhammad, Manajemen Bank Syariah , Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2003.
Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Suka dan LESFI, 2002.
Manan, M. Abdul, Islamic Economic Theory and Practice, Terjemahan M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1993.
PINBUK, Modul Pelatihan Pengelola Baitut Tamwil, Jakarta: PINBUK, tt.
Abd. Madjid, Baihaqi, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistim Syariah : Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT, Jakarta: PINBUK, 2000.
Pujiastuti, Umi, Pendirian dan Pengelolaan BMT di Lingkungan Pondok Pesantren, (Jakarta, Depag, 2000), hal.6.
Muhammad (Ed), Bank Syari’ah, Analisis Kekuatan, Kelenahan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2006.
Tim Penyusun, Pedoman BMT Jaringan Muamalat Center Indonesia, Yogyakarta: 2004.
Modul Materi Umum dan Perkoperasian, Pusat Pengembangan Bisnis, LPKwu, Universitas Sebelas Maret, Solo: 2003.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press, 2003.
Kuntowijoyo, Seputar perkembangan sejarah umat dalam Muslim tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 2001.
Al-Mu’jām al-Wasit, Al-juz’ al-awwal, Cet III, Kairo: Majma’ al-lughah al-Arabiyah, 1972.
Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz IV, Beirut: Dar Ihya al-Turas, 1987.
Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir, Juz III, Beirut : Dar al-Fikr, 1989.
Al-Nawawi, Riyad al-Salihin, Vol.IV, Beirut : Dar al-Fikr,tt.
Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina, Vol.II, Beirut : Dar al-Fikr,tt.
Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005.
Ibrahim, M. Anwar, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan.
Sabbiq, Sayyid, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung: Al Maarif .
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, Jakarta: Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia, 2001.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001.
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamallah Konstekstual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Djamil, Faturrahman, “Hukum Perjanjian Syariah” dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et al, cet.1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed. Revisi, Semarang : Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1984.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet 1, ed.2, Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997.
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, Djakarta: Bulan Bintang, 1970.
Subekti, Hukum Perjanjian, cet 14, Jakarta: Intermasa, 1992.
Dewi, Gemala dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Ed.1.Cet.1, Jakarta: Kencana, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002.
Dahlan, Abdul Azis, ed. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Armando, Ade dkk, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,tt.
Aji Haqqi, Abdurrahman Raden, The Philosophy of Islamic Law of Transactions, Kuala Lumpur: Univision Press, 1999.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000.
Ya’cub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, Bandung: CV. Diponegoro, 1984.
Prodjodikoro, R. Wirjono, Asas-asas Hukum Perdata, cet 8, Bandung,: Sumur Bandung, 1981.
Djamil, Faturrahman, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Cet.1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Barlinti, Yani Salma, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam, tesis pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: 2001.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Dewi, Gemala, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan Perikatan, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 12, terjemahan oleh H. Kamaluddin A.M, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1988.
Mardjono, Hartono, Menjalankan Syari’ah Islam, Jakarta: Studia Press, 2000.
Sabiq, Sayyid, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung: Al Ma’arif, 2001.
Sumiyanto, Ahmad, Problem dan Solusi Transaksi Mudharabah, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005.
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Muhammad, Permasalahan Fiqhiyah dalam Penerapan Mudharabah, Yogyakarta: Pusat Studfi Ekonomi Islam, 2003.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Khan, Waqaar Msood, Towards, An Interest –Free Islamic Economic System, UK: The Islamic Foundation UK and The International Association For Islamic Economies, Islamabad: 1985M-1406 H.
http:// www.pupress.princeton.edu, mengenai karya Timur Kuran, Islam and Mammon : The Economic Predicaments of Islamism, bab I , Princeton : Princeton University, 2004..
Republika Online, tanggal 14 Desember 2001.
Madjid, Baihaqi Abd (ed), Paradigma.









SOAL LATIHAN EKONOMI MAKRO


T
U
G
A
S

MENJAWAB SOAL-SOAL LATIHAN DAN
DARI BUKU PANDUAN MAKROEKONOMI MANKIW
MATA KULIAH EKONOMI MAKRO
DOSEN PEMBIMBING: Dr. H. MUHAMMAD YUSUF HRP, M.Si

Oleh : Ismul Azhari
Nim: 08 EKNI 1348


PASCA SARJANA IAIN SUMUT
2009-2010

No comments:

Post a Comment

Refleksi Agama