Revtwt News Headline Animator

Sunday, July 18, 2010

PRODUK ASURANSI KERUGIAN SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebangkitan kedua sektor keuangan syariah setelah perbankan, dialami oleh asuransi. Dibandingkan di sejumlah negara di dunia bahkan negara yang mayoritas penduduknya adalah non muslim, keberadaan asuransi syariah di Indonesia dan negara muslim lainnya terbilang terlambat. Terbukti di daerah Geneva dan Bahamas di negara Luxemburg, asuransi takaful atau syariah sudah ada sejak tahun 1983. Sedangkan di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di Saudi Arabia (1979), Malaysia (1984) dan Brunei Darussalam (1992) sudah tertinggal oleh negara-negara non muslim yang bergerak di bidang asuransi takaful atau syariah. Dalam sistem ekonomi islam atau yang lebih dikenal dengan ekonomi syariah, telah menjadi sistem ekonomi alternatif terhadap sistem ekonomi konvensional yang telah diterapkan di Indonesia selama ini. Dan di Indonesia sendiri, asuransi syariah dipelopori oleh bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, PT Syarikat Takaful Indonesia yang mulai beroperasi pada tanggal 24 Februari 1994, dan kemudian disusul oleh PT A.J. Mubarakah. Beberapa asuransi konvensional juga beralih ke sistem syariah dengan membentuk divisi, yakni PT MAA Life Assurance, PT A.J. Asih Great Eastern, PT A.J Bringin Jiwa Sejahtera, dan juga PT Asuransi Adira Dinamika yang mulai mengoperasikan cabang syariahnya tahun 2004. Setelah terhitung pada tahun 2005, menurut majalah Republika pada bulan Agustus secara umum dan keseluruhan sudah tercatat 29 lembaga Asuransi Syariah di Indonesia. Dengan meningkatnya pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia, maka saya selaku penulis merasa perlu mengangkat tema yang berkaitan dengan asuransi syariah. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis akan membahas mengenai prosedur dan penyelesaian klaim pada asuransi kerugian syariah pada PT Asuransi Adira Dinamika syariah.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal, antara lain :
1. keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya sejalan dengan syariat Islam.
2. prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong) yaitu nasabah yang satu menolong nasabah lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan)
3. dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4. dalam asuransi syariah premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi diserahkan ke perusahaan dan selanjutnya ditetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
5. dalam asuransi syariah pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari dana yang diinvestasikan perusahaan.
6. keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil, berlaku di asuransi syariah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tidak mengklaim, nasabah tidak memperoleh apa-apa.

1.2 Perumusan Masalah
Dalam asuransi kerugian konvensional dijelaskan, bahwa dalam pengajuan klaim itu sangat berpengaruh dengan premi yang dibayarkan, akan tetapi dalam asuransi kerugian syariah ada beberapa ketentuan-ketentuan khusus dalam prosedur dan penyelesaian klaim tersebut, diantaranya adalah akad-akad yang dipakai dalam proses pembayaran premi dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka dari itu penulis ingin menjabarkan secara terperinci tentang prosedur dan penyelesaian pembayaran klaim pada asuransi kerugian syariah, terutama untuk klaim kendaraan bermotor.

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah karya ini dengan disertai riset adalah sebagai salah satu syarat kelulusan dari Program Diploma III Spesialisasi Aktuaria Departement Keuangan Republik Indonesia. Selain itu bertujuan :
1. Untuk mengetahui manfaat atau benefit dari produk asuransi kerugian syariah
2. Untuk mengetahui prosedur pengajuan dan penyelesaian sampai pembayaran klaim terutama klaim kendaraan bermotor pada asuransi keugian syariah.
3. Untuk mempelajari prosedur tersebut dengan maksud supaya mengerti proses klaim pada perusahaan asuransi kerugian.

1.4 Pembatasan Makalah
Berdasarkan perbedaan yang ada antara asuransi konvensional dan asuransi syariah, maka dalam hal ini penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu bagaimana prosedur pengajuan dan penyelesaian klaim dalam auransi kerugian syariah terutama klaim kendaraan bermotor dan perbedaannya dengan asuransi kerugian konvensional.

1.5 Sistematika Penulisan
Skripsi mini ini terdiri dari lima bab. Untuk mempermudah pemahaman mengenai isi dari tiap bab, maka dengan ringkas penulis akan memberikan gambaran secara garis besarnya yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, pembatasan masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan.


BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini menjelaskan tentang definisi, sejarah dan prinsip dasar asuransi kerugian maupun asuransi syariah dan hal-hal yang dilarang dalam asuransi syariah. Serta penjelasan tentang risiko dan ketidakpastian, jenis asuransi kerugian, bentuk-brntuk kerugian kendaraan bermotor baik atas kendaraan yang dipertanggungkan itu sendiri, maupun kerugian atas pihak ke-III.
BAB III PROSEDUR PENYELESAIAN KLAIM AUTOCILLIN IKHLAS
Pada bab ini membahas tentang PT Asuransi Adira Dinamika ( baik dari sejarah perusahaan, visi dan misi perusahaan, produk perusahaan, Dewan Pengawas Perusahaan, serta akad yang dipakai) pada divisi syariah. Dan akan membahas tentang produk Autocillin ikhlas, risiko penyebab terjadinyua klaim, persyaratan pengajuan klaim, serta proses klaim pada Autocillin Ikhlas (pengertian klaim, alur prosedur klaim dan penyelesaiannya)
BAB IV CONTOH KASUS
Pada bab ini akan memberikan contoh-contoh kasus dari prosedur pengajuan sampai penyelesaian klaim pada PT Asuransi Adira Dinamika dalam produk Autocillin Ikhlas (syariah) dan produk Autocillin classic serta analisis kasusnya.
BAB V KESIMPULAN
Pada bab ini sebagai bagian akhir dari makalah karya ini yang berupa kesimpulan yang membahas tentang perbandingan antara proses klaim asuransi konvensional dengan proses klaim asuransi syariah yang berasal dari pembahasan dan beberapa saran sebagai pelengkap.

Faktor Pendukung Institusi Lembaga Keuangan Sari’ah

Oleh : H. Jazuli Suryadhi *)


Abstrack :

Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Oleh karenanya perlu adanya lembaga yang mendampingi lembaga keuangan syari’ah tersebut seperti; Ulama yang menguasai ilmu syariat sehingga mampu menghasilkan fatwa-fatwa yang valid dan akurat.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama para ulama yang yang tergabung dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.


Pendahuluan

Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006) . Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.

1. Lembaga Pemberi Fatwa
Salah satu lembaga yang berwenang memberikan aturan/arahan selain lembaga yang dibentuk pemerintah adalah Majlis Ulama Indonesia dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN)
Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.

2. Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi) Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi Tabyin dan Tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan Taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.

3. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama,
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua,
Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti; prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.

4. Peran Strategis Ulama
Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Kualitas keilmuan para ulama telah mendorongmendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terumuskannya system ekonomi Islam secara konseptual, termasuk system perbankan syariah, adalah buah dari kerja keras para ulama.
Sebelum perbankan konvensional dikenal, masyarakat sebenarnya telah melaksanakan transaksi berdasarkan muamalah Islam. Dalam pertanian dan perkebunan dikenal adanya istilah maro,nelu, dan sebagainya yang merupakan istilah lain dari bagi hasil. Hal demikian dimungkinkan dengan arahan dari para ulama masa lampau yang mengerti tentang pembagian hasil menurut ajaran Islam. Dalam kehidupan modern, sekali lagi, para ulama berperan untuk mewujudkan bank Islam seperti yang sekarang dikenal.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN).
1. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dwan Syariah Nasional.
2. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pulalah jumlah DPS yang ada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyak dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai paying dari lembaga dan organisasi keislaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknyasatu dewan syariah yang bersipat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasioanal dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasioanl membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasioanl telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasioanl dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. Secara garis besar, tugas dan mekanisme kerja DSN.
5. Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang; giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.

Kesimpulan :
Keberadaan sebuah dewan syariah tentu saja sangat penting bagi sebuah lembaga, baik profit atau pun non profit.
Sebab pada saat ini, ada sekian banyak permasalahan yang bersifat syubhat dan kompleks, sehingga kita semua ini membutuhkan advisor / concelor yang terkait dalam masalah halal dan haram. Sedangkan tsaqafah dan wawasan umat Islam di negeri ini umumnya sangat kurang.
Kalau menemukan sekedar orang-orang yang punya semangat ke-Islaman atau pandai berceramah sehingga menarik pendengar, barangkali tidak terlalu sulit. Tetapi kalau menemukan ulama yang mendalami detail-detail masalah dari sudut pandang hukum Islam / syariah, tentu bukan hal yang sederhana. Sebab jumlah ulama yang ahli di bidang itu sangat sedikit, sedangkan kebutuhan atas jasanya sedemikian banyak.
Di sisi lain, dinamika aktifitas sehari-hari yang semakin cepat, maka keberadaan sebuah badan khusus yang menangani masalah syariah menjadi penting. Badan atau dewan ini kerjanya adalah melakukan pengawasan dan pengkajian tentang segala hal yang terkait dengan hukum Islam.
Sebuah perusahaan yang ingin dikelola dengan cara-cara yang Islami, tentu saja mutlak membutuhkan sebuah dewan syariah. Sebuah hotel yang ingin menerapkan identitas hotel Islami, mutlak membutuhkannya. Sebuah partai yang mengangkat diri sebagai partai Islam, juga mutlak wajib memiliki dewan syariah.
Adapun hukum apakah yang dipakai ? Jawabnya tentu hukum Islam. Sebab keberadaan dewan syariah itu bukan sebagai penasehat hukum positif, melainkan sebagai penasehan hukum Islam.

* Mahasiswa (S2) Magister Study Islam (Konsentrasi Ekonomi Islam) Universitas Islam
Indonesia Jogjakarta.
* Stap Direktorat Kemahasiswaan Universitas Mercu Buana Jakarta
* Ketua Yayasan Pendidikan Islam Syifa Fikriya Cikande Serang Banten
Prospek Ekonomi Syariah dan Kesejahteraan Umat
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah kantor cabang bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal itu diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhadin Abdullah di sela-sela acara dialog ekonomi syariah di Jakarta pekan lalu. Burhanudin mengatakan bank-bank yang ada sekarang bisa memanfaatkan kebijakan dihilangkannya Batas Minimum Penyaluran Kredit (BMPK) untuk melakukan penyertaan pada bank lain.
”Ini satu kesempatan bagi bank untuk membuka unit-unit syariah. Misalnya bank A yang merupakan bank konvensional, dia bisa melakukan penyertaan di bank syariah tanpa dibatasi oleh BMPK. Di masa lalu batasnya 10 persen, sekarang tidak ada lagi,” jelas Burhanudin.
Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syariah bisa mencapai 10 persen market share asuransi konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan.
Bisa dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas. Persoalannya sekarang, mampukah kita memanfaatkan peluang yang terbuka lebar itu.
Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
Berkaitan dengan hal itu, dalam di sela-sela sebuah acara dialog ekonomi syariah, praktisi perbankan syariah A. Riawan Amin mengatakan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi syariah sangat penting, karena hal ini bukan semata-mata menyangkut mayoritas umat Islam di Indonesia tapi berkaitan dengan masalah stabilitas ekonomi nasional.
Menurutnya, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Riawan mengaku untuk saat ini para pelaku ekonomi syariah belum terlalu menuntut pemerintah untuk lebih berpihak pada sistem ekonomi syariah. ”Mereka mau mengerti saja, itu sudah bagus,” ujarnya. Meski demikian ada harapan dari sejumlah kementerian yang sudah menyatakan dukungannya terhadap sistem ekonomi syariah, antara lain dari Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.
Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarman Lc., anggota DPRD I Banten dalam sebuah dialog ekonomi syariah beberapa waktu lalu mengingatkan, penerapan ekonomi syariah harus dipahami sebagai bagian integral dari penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan hukum syariah dalam perekonomian tidak akan berhasil tanpa didukung penerapan hukum syariah di bidang yang lain. Teori dan sistem ekonomi syariah yang baik, bukan jaminan bagi penegakan perekonomian Islam kalau kaum muslimin sebagai pelaku ekonominya belum terlembagakan dengan baik.
Salah satu institusi keuangan syariah yang saat ini tengah berkembang adalah pasar modal syariah. Hal ini tidak lepas dari semakin berkembangnya industri keuangan syariah yang pertumbuhannya sangat cepat, terutama dalam satu dekade terakhir.
Menurut riset Bank Negara Malaysia (bank sentral Malaysia) tahun 2005, dana yang dimiliki umat Islam atau pelaku pasar Muslim di bursa-bursa di seluruh dunia, mencapai angka sekitar 1,3 triliun dolar AS. Sedangkan dana yang terhimpun di pasar keuangan Islam di seluruh dunia diperkirakan 230 miliar dolar AS, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12-15 persen per tahun. Kemudian, jumlah institusi keuangan syariah saat ini mencapai lebih dari 250 buah, tersebar di 75 negara. Sementara jumlah fund manager syariah tercatat lebih dari 100 buah institusi dengan total aset yang dikelola mencapai 5 miliar dolar AS.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi dana yang dimiliki umat Islam sangat besar. Tingginya pertumbuhan pasar keuangan syariah juga didorong pembentukan berbagai macam lembaga keuangan tingkat internasional. Misalnya the Islamic Financial Services Boards (IFSB) yang terdiri atas berbagai bank sentral negara-negara Islam terkait, the International Islamic Financial Market (IIFM), dan the Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Organisasi terakhir berbasis di Bahrain, dan merupakan lembaga yang memiliki fokus pada pengembangan sistem akuntansi dan audit yang sesuai syariah dan dapat diterima secara internasional.
Kontribusi lembaga-lembaga tersebut sangat signifikan, sehingga diharapkan dapat menstimulasi institusi-institusi keuangan syariah lainnya, termasuk di Indonesia, untuk terus dapat mengembangkan dirinya.
Belajar dari Malaysia
Pepatah mengatakan ''pengalaman adalah guru terbaik''. Demikian pula dalam membangun dan mengembangkan sistem pasar keuangan syariah. Kita membutuhkan pengalaman negara lain sebagai cermin langkah dan strategi yang akan dikembangkan. Salah satu negara yang dikenal sebagai pioner pengembangan pasar keuangan syariah adalah Malaysia.
Sejak Kementerian Keuangan Malaysia mengeluarkan Capital Market Masterplan pada tahun 2001 yang memuat 13 rekomendasi untuk menjadikan Malaysia sebagai international centre bagi industri keuangan syariah, pertumbuhan pasar keuangan Islam Malaysia menunjukkan kinerja luar biasa. Sebagai contoh, jumlah saham yang tercatat di bursa syariah mencapai 816 buah pada tahun 2005, naik sebesar 4,9 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 778 saham. Persentase saham syariah mencapai 82,5 persen dari total keseluruhan saham yang listed di bursa pada tahun 2005, atau meningkat 80,8 persen dari tahun sebelumnya, dengan kapitalisasi pasar yang mencapai 64 persen.
Prestasi lainnya, 36 persen dari total equity fund di seluruh dunia tercatat di bursa syariah Malaysia, dengan nilai 1,8 miliar dolar AS (dari total 5 miliar dolar AS). Hal tersebut mengindikasikan pasar modal syariah Malaysia telah mendapatkan kepercayaan yang kuat dari investor. Bahkan, Komisi Sekuritas Malaysia telah menggandeng Dow Jones dengan memperkenalkan Dow Jones-RHB Islamic Malaysia Index untuk mengintegrasikan pasar domestik dengan pasar internasional. Dengan performance seperti itu, wajarlah jika kemudian banyak negara Muslim mencoba mengikuti jejak Malaysia.

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

Sejarah pendirian LPS

Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan eknonomi nasional. Stabilitas industri perbankan dimaksud sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Beberapa peristiwa pada penghujung tahun 1997 di antaranya likuidasi 16 bank yang diikuti dengan krisis moneter dan perbankan pada tahun 1998 telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia menurun, sehingga terjadi penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan (bank runs) dalam jumlah yang sangat signifikan. Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus guna menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, Pemerintah memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (Blanket Guarantee). Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Sejak 1998 hingga Februari 2004 program penjaminan Pemerintah dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini menangani pelaksanaan penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran 52 bank yang dibekukan operasi atau kegiatan usahanya sejak 1998.

Pada saat BPPN berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004, pelaksanaan program penjaminan Pemerintah dialihkan ke Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 17 Tahun 2004. Program penjaminan yang belum diselesaikan oleh BPPN selanjutnya dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. Untuk melaksanakan program penjaminan Pemerintah ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk membentuk unit pelaksana penjaminan Pemerintah dalam lingkungan Departemen Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 27 Pebruari 2004 Menteri Keuangan membentuk Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3).

Dalam pelaksanaannya, penjaminan yang sangat luas tersebut memang terbukti dapat menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Namun demikian, luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat. Pengelola bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin pasar. Selain itu, penerapan penjaminan secara luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan. Oleh karena itu diperlukan dasar hukum yang lebih kuat dalam bentuk Undang-Undang

Untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan untuk membentuk suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk LPS, suatu lembaga independen, yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Undang-undang tersebut berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi
Bentuk dan status lembaga Penjamin simpanan
1. LPS dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
2. LPS adalah badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
3. LPS merupakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
4. LPS bertanggung jawab kepada Presiden

SUSUNAN DEWAN KOMISIONER LPS
Susunan Dewan Komisioner LPS yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 161/M Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Komisioner LPS adalah sebagai berikut:
1. Ketua Dewan Komisioner : Rudjito
2. Kepala Eksekutif : Krisna Wijaya
3. Anggota : Markus Parmadi
4. Anggota : Pontas Riyanto Siahaan
5. Anggota : Maman H. Somantri (ex-officio Bank Indonesia)
6. Anggota : Darmin Nasution (ex-officio Departemen Keuangan)

Fungsi
1. menjamin simpanan nasabah penyimpan
2. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya
Tugas
1. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan
2. melaksanakan penjaminan simpanan
3. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan
4. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik
5. melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik

Wewenang
1. menetapkan dan memungut premi penjaminan
2. menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta
3. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS
4. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank
5. melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4
6. menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim
7. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu
8. melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan
9. menjatuhkan sanksi administrative

KEPESERTAAN
1. Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan.
2. Bank peserta penjaminan meliputi seluruh Bank Umum (termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan perbankan dalam wilayah Republik Indonesia) dan Bank Perkreditan Rakyat, baik bank konvensional maupun bank berdasarkan prinsip syariah.
3. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di Indonesia yang melakukan kegiatan perbankan di luar wilayah Republik Indonesia tidak termasuk dalam Penjaminan

KEWAJIBAN BANK PESERTA
Sebagai peserta Penjaminan, setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia wajib:
a. menyerahkan dokumen kepesertaan;
b. membayar kontribusi kepesertaan;
c. membayar premi penjaminan;
d. menyampaikan laporan secara berkala dalam format yangDitentukan;
e. memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan;
f. menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat
g. menempatkan pengumuman pada seluruh kantor bank yang dapat diketahui dengan mudah oleh Nasabah Penyimpan mengenai maksimum tingkat bunga penjaminan yang berlaku yang ditetapkan LPS.


A. DOKUMEN KEPESERTAAN
Terdiri dari dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Dokumen Pendirian dan Perizinan Bank
Terdiri dari:
(1) Salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank, yang memuat data dan informasi mengenai susunan terakhir dari Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham beserta komposisi kepemilikan saham.
(2) Salinan dokumen perizinan bank, yang merupakan copy dari surat keputusan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) atau Menteri Keuangan mengenai pemberian izin usaha bank.
Dokumen Pendirian dan Perizinan Bank tersebut di atas, harus disampaikan kepada LPS paling lambat:
a. tanggal 22 Nopember 2005, bagi bank yang telah memperoleh izin usaha sebelum tanggal 22 September 2005; atau
b. 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal diperolehnya izin usaha, bagi bank yang memperoleh izin usaha pada atau setelah tanggal 22 September 2005


2. Surat Keterangan dari LPP Mengenai Tingkat Kesehatan Bank
Memuat rasio-rasio pokok keuangan dan status pengawasan bank yang bersangkutan.
Penyampaian surat keterangan tingkat kesehatan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. bank menerima dari LPP dan menyampaikan kepada LPS; atau
b. LPP menyampaikan langsung kepada LPS, tanpa melalui bank apabila dipandang perlu oleh LPP.

Harus disampaikan kepada LPS paling lambat:
a. tanggal 22 Nopember 2005, bagi bank yang telah memperoleh izin usaha sebelum tanggal 22 September 2005; atau
b. 30 (tiga puluh) hari kalender, bagi bank yang memperoleh izin usaha pada atau setelah tanggal 22 September 2005.


3. Pernyataan Pemegang Saham, Pengendali Bagi Bank Yang Berbadan Hukum Koperasi, kantor pusat dari cabang bank asing, Direksi, dan Komisaris
Bentuk dan isi pernyataan Pemegang Saham, Pengendali Bagi Bank Yang Berbadan Hukum Koperasi, kantor pusat dari cabang bank asing, Direksi, dan Komisaris, harus sesuai dengan formulir yang ditetapkan dalam lampiran Peraturan LPS Nomor 1A/PLPS/2005, yaitu:
a. Lampiran 1: Pernyataan Pemegang Saham Perorangan;

b. Lampiran 2: Pernyataan Pemegang Saham Badan Hukum;
c. Lampiran 2A: Pernyataan Pengendali Bank Berbadan Hukum Koperasi;
d. Lampiran 2B: Pernyataan Kantor Pusat Dari Cabang Bank Asing;
c. Lampiran 3: Pernyataan Direksi; dan

d. Lampiran 4: Pernyataan Komisaris.

Bank wajib menyampaikan pernyataan Pemegang Saham, Pengendali Bagi Bank yang Berbadan Hukum Koperasi, kantor pusat dari cabang bank asing, Direksi, dan Komisaris berdasarkan Peraturan LPS Nomor 1A/PLPS/2005 paling lambat tanggal 22 Desember 2005.
Bank yang telah menyampaikan pernyataan Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris berdasarkan Peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2005, wajib menyesuaikan pernyataan Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris tersebut berdasarkan Peraturan LPS Nomor 1A/PLPS/2005 paling lambat tanggal 22 Desember 2005.
Pernyataan Pemegang Saham berdasarkan Peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2005 wajib disampaikan kepada LPS paling lambat:
a. tanggal 22 Nopember 2005, bagi pemegang saham pengendali yang tercatat per tanggal 22 September 2005;
b. 30 (tiga puluh) hari kalender sejak yang bersangkutan menjadi pemegang saham pengendali, bagi pemegang saham yang menjadi pemegang saham pengendali pada atau setelah tanggal 22 September 2005.
Pernyataan Direksi dan Komisaris berdasarkan Peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2005 wajib disampaikan kepada LPS paling lambat:
a. tanggal 22 Nopember 2005, bagi Direksi dan Komisaris yang diangkat sebelum tanggal 22 September 2005;
b. 30 (tiga puluh) hari kalender sejak yang bersangkutan menjadi Direksi atau Komisaris yang diangkat pada atau setelah tanggal 22 September 2005.
Pernyataan Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris disampaikan kepada LPS tanpa menunggu hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dari LPP.
Untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri pernyataan yang wajib disampaikan:
a. Pernyataan direksi ditandatangani oleh pimpinan kantor cabang di Indonesia.
b. Pernyataan komisaris tidak perlu disampaikan.
c. Pernyataan pemegang saham ditandatangani oleh pimpinan kantor pusat.



Kembali Ke atas

B. KONTRIBUSI KEPESERTAAN
1. Setiap bank wajib membayar kontribusi kepesertaan pada saat bank yang bersangkutan menjadi peserta penjaminan.
2. Kontribusi kepesertaan ditetapkan sebesar 0,1% (satu per seribu) dari:
a. modal sendiri (ekuitas) bank per 31 Desember 2004, bagi bank yang telah memperoleh izin usaha sebelum 1 Januari 2005;
b. total modal sendiri (ekuitas) per 31 Desember 2004 dari bank-bank yang melakukan penggabungan usaha, bagi bank hasil penggabungan usaha yang dilakukan antara 1 Januari 2005 dan 22 September 2005;
c. modal disetor bank, bagi bank yang mendapatkan izin usaha pada atau setelah 1 Januari 2005.

3. Modal sendiri (ekuitas) merupakan selisih antara kekayaan dan kewajiban bank.
4. Modal sendiri untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri merupakan modal bank sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum yang ditetapkan LPP.
5. Kontribusi kepesertaan wajib disetorkan ke rekening LPS, paling lambat:
a. tanggal 22 Nopember 2005, bagi bank yang telah memperoleh izin usaha sebelum 1 Januari 2005;
b. 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal persetujuan izin usaha bank yang bersangkutan dari LPP, bagi bank baru.




Ilustrasi Perhitungan Kontribusi Kepesertaan



C. PERHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PREMI
1. Premi Penjaminan dibayarkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk:
a. periode 1 Januari sampai dengan 30 Juni; dan
b. periode 1 Juli sampai dengan 31 Desember.

2. Premi untuk setiap periode ditetapkan sebesar 0,1% (satu per seribu) dari rata-rata saldo bulanan total Simpanan dalam setiap periode.
3. Proses pembayaran premi untuk setiap periode dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Pembayaran premi pada awal periode sebesar 0,1% (satu per seribu) dari rata-rata saldo bulanan total Simpanan periode sebelumnya; dan
b. Penyesuaian premi setelah akhir periode berdasarkan realisasi rata-rata saldo bulanan total Simpanan periode yang bersangkutan.

4. Pembayaran premi pada awal periode harus dilakukan paling lambat tanggal:
a. 31 Januari, untuk periode 1 Januari sampai dengan 30 Juni; dan
b. 31 Juli, untuk periode 1 Juli sampai dengan 31 Desember.

5. Penyesuaian premi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Menghitung premi yang seharusnya dibayar berdasarkan realisasi rata-rata saldo bulanan total Simpanan pada periode yang bersangkutan;
b. Menghitung kelebihan atau kekurangan premi yang dibayarkan pada awal periode dengan premi yang seharusnya dibayar; dan
c. Memperhitungkan kelebihan atau kekurangan terhadap premi yang dibayarkan pada awal periode berikutnya, dengan ketentuan bahwa:
i. Dalam hal terdapat kelebihan premi, kelebihan tersebut menjadi pengurang terhadap premi yang dibayarkan pada awal periode berikutnya; atau
ii. Dalam hal terdapat kekurangan premi, kekurangan tersebut menjadi penambah terhadap premi yang dibayarkan pada awal periode berikutnya.


6. Kelebihan pembayaran premi digunakan untuk pembayaran premi berikutnya, kecuali apabila bank yang bersangkutan meminta agar kelebihan tersebut digunakan untuk membayar denda yang tertunggak kepada LPS.
7. Dalam rangka perhitungan rata-rata saldo bulanan total Simpanan, kewajiban bank dalam valuta asing dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang digunakan bank untuk penyampaian laporan bulanan kepada LPP sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan LPP
8. Khusus untuk pembayaran premi periode 22 September 2005 sampai dengan 31 Desember 2005, sesuai Pasal 46 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2005 tentang Program Penjaminan Simpanan ditetapkan sebagai berikut:



i. bank membayar premi di awal periode berdasarkan rata-rata saldo bulanan total simpanan pada periode 1 Januari 2005 sampai dengan 30 Juni 2005, yaitu:
101
184 x 0,1 % x rata-rata saldo bulanan total simpanan pada periode 1 Januari 2005 sampai dengan 30 Juni 2005.

ii. penyesuaian pembayaran premi berdasarkan realisasi rata-rata saldo bulanan total simpanan pada periode 1 Juli 2005 sampai dengan 31 Desember 2005, yaitu:
101
184 x 0,1 % x realisasi rata-rata saldo bulanan total simpanan pada periode 1 Juli 2005 sampai dengan 31 Desember 2005.


9. Bagi Bank Umum, premi dibayarkan ke rekening LPS di Bank Indonesia :
a. nomor rekening: 519.000117
b. nama rekening: Lembaga Penjamin Simpanan.

10. Bagi Bank Perkreditan Rakyat, premi dibayarkan ke:
a. Rekening LPS di Bank Rakyat Indonesia, nama rekening: Lembaga Penjamin Simpanan-Premi, nomor rekening: 0206-01-002299-30-0, atau
b. Rekening LPS di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 9.

11. Bank menyampaikan perhitungan dan pembayaran premi kepada LPS dengan melampirkan copy bukti pembayaran (transfer advice).
12. Penghitungan premi, baik premi pada awal periode maupun premi penyesuaian, dilakukan sendiri oleh bank (self assessment)




D. MENYAMPAIKAN LAPORAN SECARA BERKALA:
1. Laporan posisi simpanan bulanan,
disampaikan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, sesuai formulir pada Lampiran 5 dan Lampiran 6 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2005 tentang Program Penjaminan Simpanan;
2. Laporan keuangan bulanan,
disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya; dan
3. Laporan tahunan yang telah diaudit, atau laporan keuangan tahunan yang disampaikan kepada LPP bagi BPR yang tidak diwajibkan oleh LPP untuk menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, yang disampaikan paling lambat tanggal 31 Mei tahun berikutnya.
Khusus untuk Laporan posisi simpanan untuk akhir bulan September 2005 dan Oktober 2005 serta laporan keuangan bulanan untuk bulan September 2005, sesuai Pasal 47 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2005 tentang Program Penjaminan Simpanan, disampaikan paling lambat tanggal 22 Nopember 2005


SIMPANAN YANG DIJAMIN
1. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2. Simpanan nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dijamin meliputi:
a. giro berdasarkan Prinsip Wadiah;
b. tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah;
c. tabungan berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank;
d. deposito berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau
e. Simpanan berdasarkan Prinsip Syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan LPP.

3. Simpanan yang dijamin merupakan simpanan yang berasal dari masyarakat, termasuk yang berasal dari bank lain.
4. Nilai Simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha Bank.
5. Saldo tersebut berupa:
a. pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari transaksi dengan prinsip syariah;
b. pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang memiliki komponen bunga;
c. Nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan menggunakan tingkat diskonto yang tercatat pada bilyet, untuk Simpanan yang memiliki komponen diskonto.

6. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu Bank adalah hasil penjumlahan saldo seluruh rekening Simpanan nasabah pada Bank tersebut, baik rekening tunggal maupun rekening gabungan (joint account);
7. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang diperhitungkan bagi satu nasabah adalah saldo rekening gabungan tersebut yang dibagi secara prorata dengan jumlah pemilik rekening
8. Dalam hal nasabah memiliki rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficiary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain (beneficiary) yang bersangkutan
9. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu Bank adalah:
a. seluruhnya, sejak tanggal 22 September 2005 sampai dengan 21 Maret 2006;
b. paling tinggi sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), sejak tanggal 22 Maret 2006 sampai dengan 21 September 2006;
c. paling tinggi sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sejak tanggal 22 September 2006 sampai dengan 21 Maret 2007;
d. paling tinggi sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sejak tanggal 22 Maret 2007



CONTOH PERHITUNGAN SIMPANAN YANG DIJAMIN
Ali mempunyai tabungan atas nama pribadi di Bank XYZ dengan saldo sebesar Rp 80 juta. Ali juga mempunyai rekening gabungan dengan Budi dan Cici dalam bentuk giro di Bank XYZ dengan saldo sebesar Rp 225 juta. Selain itu, Budi mempunyai rekening tabungan atas nama pribadi di Bank XYZ dengan saldo sebesar Rp25 juta. Sedangkan Cici mempunyai 1 (satu) rekening tabungan atas nama pribadi dengan saldo sebesar Rp 65 juta dan 1 (satu) rekening tabungan untuk kepentingan anaknya yang masih kecil bernama Titi (beneficiary) dengan saldo sebesar Rp 45 juta.
Apabila Bank XYZ dicabut izin usahanya pada tahun 2008 dengan asumsi pada saat itu nilai simpanan yang dijamin per nasabah per bank paling tinggi sebesar Rp 100 juta, maka perhitungan nilai simpanan yang dijamin untuk masing-masing nasabah tersebut adalah sebagai berikut:

(dalam jutaan Rupiah)
Nama Rekening Saldo per tanggal pencabutan izin Pembagian Hak Simpanan
Ali Budi Cici
Ali 80 80 - -
Ali, Budi, & Cici 225 75 75 75
Budi 25 - 25 -
Cici 65 - - 65
Cici qq Titi 45 - - 45
Jumlah Simpanan 440 155 100 185
Jumlah Simpanan yang dijamin 345 100 100 145
Jumlah Simpanan yang tidak dijamin 95 55 - 40

LPS akan membayar klaim penjaminan atas simpanan yang dijamin sebesar Rp100 juta kepada Ali, sebesar Rp100 juta kepada Budi, dan sebesar Rp145 juta kepada Cici. Simpanan yang tidak dijamin sebesar Rp95 juta akan diselesaikan melalui proses likuidasi Bank XYZ.

REKONSILIASI DAN VERIFIKASI SIMPANAN YANG DIJAMIN
(1) Apabila LPP mencabut izin usaha bank, LPS akan segera melakukan rekonsiliasi dan verifikasi terhadap data nasabah penyimpan berdasarkan data bank per tanggal pencabutan izin usaha untuk menentukan:
a. Simpanan yang layak dibayar; dan
b. Simpanan yang tidak layak dibayar.

(2) LPS dapat menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk melakukan rekonsiliasi dan bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS.
(3) Rekonsiliasi dan verifikasi dilakukan secara bertahap berdasarkan rekening yang lebih mudah diverifikasi.
(4) Penentuan Simpanan yang layak dibayar berdasarkan hasil rekonsiliasi dan verifikasi diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak izin usaha bank dicabut.
(5) Dalam rangka melakukan rekonsiliasi dan verifikasi, pegawai bank, Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham bank yang dicabut izin usahanya wajib membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan LPS, yaitu:
a. daftar Simpanan nasabah yang tercatat dalam pembukuan bank;
b. daftar Simpanan nasabah yang juga memiliki kewajiban kepada bank yang telah jatuh tempo dan atau gagal bayar;
c daftar tagihan bank kepada Nasabah Debitur, termasuk yang telah dihapusbukukan oleh bank;
d. standard operating procedure (SOP) internal bank yang berkenaan dengan simpanan nasabah;
e. susunan Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham bank;
f. neraca dan rinciannya; dan
g. data dan dokumen pendukung lain yang diperlukan LPS.

(6) Rekonsiliasi dan verifikasi dilakukan oleh LPS atau pihak yang ditunjuk LPS berdasarkan data nasabah penyimpan dan informasi lain yang diperoleh dari bank yang dicabut izin usahanya.
(7) Dalam hal diperlukan LPS, rekonsiliasi dan verifikasi dilakukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari pihak lain

PENGAJUAN KLAIM
(1) LPS mengumumkan tanggal pengajuan klaim atas Simpanan yang layak dibayar pada sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar harian yang berperedaran luas.
(2) Pengumuman tanggal pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap berdasarkan hasil rekonsiliasi dan verifikasi yang telah diselesaikan, dengan ketentuan:
a. Pengumuman tahap pertama dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah rekonsiliasi dan verifikasi dimulai;
b. Pengumuman tahap terakhir dilakukan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak izin usaha bank dicabut.

(3) Pengumuman tersebut juga memuat syarat dan tata cara pengajuan klaim atas simpanan yang layak dibayar.
(4) Klaim atas Simpanan yang dijamin diajukan oleh Nasabah Penyimpan kepada LPS sesuai pengumuman.
(5) Pengajuan klaim penjaminan wajib dilakukan nasabah penyimpan paling lambat 5 (lima) tahun sejak izin usaha bank dicabut.
(6) Dalam hal nasabah penyimpan tidak mengajukan klaim penjaminan atas simpanannya, maka hak nasabah penyimpan untuk memperoleh pembayaran klaim dari LPS menjadi hilang.
(7) Nasabah penyimpan yang hilang haknya untuk memperoleh pembayaran klaim penjaminan dari LPS diperlakukan sama dengan nasabah penyimpan yang simpanannya tidak dijamin, dan diselesaikan berdasarkan mekanisme likuidasi

PEMBAYARAN KLAIM PENJAMINAN
1. Pembayaran klaim penjaminan kepada Nasabah Penyimpan dilakukan berdasarkan Simpanan yang layak dibayar sesuai hasil rekonsiliasi dan verifikasi.
2. Pembayaran klaim penjaminan yang layak dibayar kepada Nasabah Penyimpan dilakukan oleh LPS melalui bank pembayar yang ditunjuk oleh LPS
3. Pembayaran klaim atas Simpanan yang layak dibayar mulai dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal rekonsiliasi dan verifikasi dimulai.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pembayaran klaim penjaminan serta penunjukan bank pembayar ditetapkan dengan Keputusan Dewan Komisioner LPS.
5. Pembayaran klaim penjaminan atas simpanan yang layak dibayar dilakukan secara tunai dengan mata uang rupiah dan atau setara tunai, antara lain dengan mengalihkan rekening nasabah penyimpan tersebut kepada bank pembayar.
6. Dalam hal klaim penjaminan berupa valuta asing, maka pembayaran dilakukan dengan menggunakan kurs tengah yang berlaku pada tanggal pencabutan izin usaha bank tersebut.
7. Kurs tengah adalah rata-rata kurs beli dan kurs jual per akhir hari, yang diumumkan Bank Indonesia melalui Reuters
8. Dalam hal Nasabah Penyimpan pada saat yang bersamaan mempunyai kewajiban pembayaran kepada bank yang telah jatuh tempo tetapi belum dibayar maka pembayaran klaim atas simpanan yang layak dibayar dapat dilakukan setelah simpanan yang layak dibayar tersebut terlebih dahulu diperhitungkan (perjumpaan utang/set off/kompensasi) dengan kewajiban pembayaran Nasabah Penyimpan kepada bank yang telah jatuh tempo tetapi belum dibayar tersebut. Namun, ketentuan ini tidak berlaku dalam hal kewajiban pembayaran Nasabah Penyimpan kepada bank telah dikategorikan macet berdasarkan peraturan perundang-undangan.
9. LPS dapat menunda pembayaran kepada nasabah penyimpan yang mempunyai kewajiban pembayaran kepada bank yang belum jatuh tempo sampai dengan nasabah tersebut melunasi kewajibannya
KLAIM PENJAMINAN YANG TIDAK LAYAK DIBAYAR
(1) Klaim penjaminan dinyatakan tidak layak dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi:
a. Data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank;
b Nasabah penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau
c. Nasabah penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat.

(2) Simpanan dinyatakan tercatat pada bank apabila:
a. dalam pembukuan bank terdapat data mengenai simpanan tersebut, antara lain nomor rekening/bilyet, nama nasabah penyimpan, saldo rekening, dan informasi lainnya yang lazim berlaku untuk rekening sejenis; dan/atau
b. terdapat bukti aliran dana yang menunjukkan keberadaan simpanan tersebut.

(3) Nasabah penyimpan dinyatakan sebagai pihak yang diuntungkan secara tidak wajar, apabila nasabah tersebut memperoleh tingkat bunga melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS.
(4) Dalam menetapkan maksimum tingkat bunga wajar penjaminan, Dewan Komisioner LPS dapat meminta pertimbangan Bank Indonesia.
(5) LPS mengumumkan maksimum tingkat bunga penjaminan setiap bulan dengan ketentuan:
a. Tingkat bunga tersebut berlaku selama 1 (satu) bulan; dan
b. Pengumuman dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum diberlakukan.

(6) Suatu pihak dinyatakan termasuk sebagai pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c, apabila pihak yang bersangkutan memiliki kewajiban kepada bank yang dapat dikelompokkan dalam kredit macet berdasarkan peraturan perundang-undangan dan saldo kewajiban pihak tersebut lebih besar dari saldo simpanannya.
(7) Dalam hal Nasabah Penyimpan yang simpanannya tidak layak dibayar merasa dirugikan, maka nasabah dimaksud dapat:
a. mengajukan keberatan kepada LPS yang didukung dengan bukti nyata dan jelas; atau
b. melakukan upaya hukum melalui pengadilan.

(8) Apabila LPS menerima keberatan Nasabah Penyimpan atau pengadilan mengabulkan upaya hukum Nasabah Penyimpan LPS mengubah status simpanan nasabah tersebut (reklasifikasi) dari simpanan yang tidak layak dibayar menjadi simpanan yang layak dibayar.
(9) LPS hanya membayar simpanan sesuai dengan Penjaminan berikut bunga yang wajar sejak simpanan nasabah tersebut ditetapkan tidak layak dibayar sampai dengan simpanan nasabah dimaksud dibayarkan oleh LPS.
(10) Bunga yang wajar tersebut dihitung menggunakan maksimum tingkat bunga penjaminan

SANKSI ADMINISTRATIF DAN PIDANA
1. Bank yang tidak melunasi pembayaran premi sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dikenakan sanksi denda per hari keterlambatan sebesar 0,5% (lima per seribu) dari jumlah premi yang masih harus dibayar untuk periode yang bersangkutan.
2. Besarnya denda ditetapkan paling tinggi 150% (seratus lima puluh per seratus) dari jumlah premi yang seharusnya dibayar untuk periode yang bersangkutan.
3. Bank yang terlambat menyampaikan laporan, dikenakan sanksi denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kalender keterlambatan untuk setiap laporan yang harus disampaikan.
4. Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
5. Direksi, komisaris, dan/atau pemegang saham bank yang
a. tidak menyerahkan dokumen salinan anggaran dasar, dokumen perizinan bank, surat keterangan tingkat kesehatan, dan surat pernyataan;
b. tidak membayar kontribusi kepesertaan bank;
c. tidak memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan;
d. tidak menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat; dan/atau
e. menyebabkan bank tidak memenuhi kewajiban bank sebagai peserta penjaminan serta tidak menyelesaikan sanksi administratif,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

6. Direksi, komisaris, dan/atau pemegang saham bank yang menyebabkan bank tidak membayar premi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak batas waktu periode yang bersangkutan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
7. Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, pegawai, dan/atau pihak lain yang terkait dengan bank yang dicabut izin usahanya atau bank dalam likuidasi yang tidak membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh LPS dan/atau tim likuidasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun, serta denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah

PANDANGAN PARA AHLI MUSLIM TENTANG EKSISTENSI AKUNTANSI YANG BERPARADIGMA SYARIAH ISLAMIYAH I

PANDANGAN PARA AHLI MUSLIM

TENTANG EKSISTENSI AKUNTANSI

YANG BERPARADIGMA SYARIAH ISLAMIYAH I


Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam

Dalam istilah islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi disebut sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki 2 pengertian pokok yaitu: Muhasabah dengan arti musa'alah (perhitungan) dan munaqasyah (Perdebatan) . Proses musa-alah bisa diselesaikan secara individual atau dengan perantara orang lain, atau bisa juga dengan perantara malaikat, atau oleh allah sendiri pada hari kiamat nanti. Muhasabah dengan arti pembukuan/pencatatan keuangan seperti yang diterapkan pada masa awal munculnya islam. Juga diartiakan dengan penghitungan modal pokok serta keuntungan dan kerugian.

Muhasabah pun berarti pendataan, pembukuan, dan juga semakna dengan musa'alah (perhitungan) , perdebatan, serta penentuan imbalan/balasan seperti yang diterapkan dalam lembaga-lembaga negara, lembaga baitul maal, undang-undang wakaf, mudharabah, dan serikat-serikat kerja.

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian akuntansi (muhasabah) didalam islam adalah:

1.Pembukuan keuangan

2.Perhitungan, perdebatan, dan pengimbalan

Kedua makna ini saling terkait dan sulit memisahkannya, yaitu sulit membuat perhitungan tanpa adanya data-data, dan juga data-data menjadi tak berarti tanpa perhitungan dan perdebatan.

Akutansi Islam atau Akutansi Syariah pada hakekatnya adalah penggunaan akutansi dalam menjalankan syariah Islam, misalnya mendefinisikan Akutansi Islam sebagai berikut:

“ Postulat, standar, penjelasan dan prinsip akutansi yang menggambarkan semua hal…sehingga akutansi Islam secara teoritis memiliki konsep, prinsip, dan tujuan Islam juga. Semua ini secara serentak berjalan bersama bidang ekonomi, social, politik, idiologi, etika, kehidupan, keadilan dan hukum Islam. Akutansi dan bidang lain itu adalah satu paket dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,.”

Sesuai dengan penjelasan Akutansi dalam bahasa Arab disebut Muhasabah terdapat 48 kali disebut dalam Alquran.

Kata Muhasabah memiliki 8 pengertian :

1. Yahsaba yang berarti menghitung, to compute, atau mengukur atau to mensure.

2. Juga berarti pencatatan dan perhitungan perbuatan seseorang secara terus menerus

3. Hasaba adalah selesaikan tanggung jawab

4. Agar supaya bersifat netral

5. Tahasaba berarti menjaga

6. Mencoba mendapatkan

7. Mengharapkan pahala diakhirat.

8. Menjadikan perhatian atau mempertanggungjawabkan

Dari pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.



Pendorong munculnya akuntansi syariah

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya Akuntansi Islam :

1. Meningkatnya religiousity (rasa keberagamaan) masyarakat.
2. meningkatnya tuntutan kepada etika dan tanggung jawab sosial yang selama ini nampak diabaikan oleh akuntansi konvensional.
3. semakin lambannya akuntansi konvensional mengantisipasi tuntutan masyarakat khusunya mengenai penekanan pada keadilan, kebenaran dan kejujuran.
4. kebangkitan Islaam khususnya kaum terpelajr yang merasakan kekurangan yang terdapat dalam kapitalisme barat. Kebangkitan Islam terasa setelah beberapa negara yang penduduknya beragama Islam, merdeka lima puluh tahun yang lalu seperti Mesir, Arab Saudi, India (Pakistan dan Bangladesh), Iran, Irak, Indonesia, Malaysia, dan lain sebagainya. Negara baru ini tentu siap dengan pembangunan SDM-nya dan lahirlah penduduk muslim yang terpelajar dan mendapatkan ilmu dari barat. Dalam akulturasi ilmu ini maka pasti ada beberapa kontradiksi dan disinilah ia bersikap. Dan mulai merasakan perlunya digali keyakinan akan agamanya yang dianggapnya komprehensif. Sehingga dalam akuntansi lahirlah ilmu Akuntansi Islami ini.
5. perkembangan atau anatomi disiplin akuntansi itu sendiri yang berproses dan berevolusi mencari kesempurnaan.
6. kebutuhan akan sistem akuntansi dalam lembaga bisnis syari’ah seperti Bank, Ausransi, Pasar Modal, Perdagangan dan lain-lain.
7. kebutuhan yang semakin besar pada norma perhitungan zakat dengan menggunakan norma akuntansi yang sudah mapan sebagi dasar perhitungan.
8. kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban dan pengawasan harata ummat misalya dalam Baitul Maal kekayaan milik umat Islam (wakaf) atau organisasinya.



Sejarah Akuntansi di Kalangan Orang Arab Pra Islam

Ketika berbicara tentang sejarah akuntansi di kalangan orang Arab, maka yang dimaksud adalah masa yang berakhir dengan hijrahnya Rasulullah SAW, dari Makkah ke Madina tahun 622 M, yang setelah itu dimulailah sejarah Islam. Pada masa sebelum berdirinya negara Islam, bangsa Arab terpecah-pecah, tidak disatukan oleh satu sistem poplitik, kecuali tradisi kekabilahan yang dominan. Sekalipun demikian, mereka memiliki pasar dan tempat aktivitas perdagangan di dalam negeri maupun di luar negeri, yang tercermin dalam dua perjalanan di musim dingin dan di musim panas, yaitu ke negeri Syam dan ke negeri Yaman.

Nubuwwah Rasul Muhammad SAW berawal pada tahun 609 M. Dan beliau selama tiga belas tahun tinggal di Makkah sampai berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Dengan hijrahnya Rasul Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, mulailah tahun Hijtiyah menjadi kalender Islam yang didasarkan pada peredaran bulan, sedangkan kalender masehi berdasarkan pada peredaran matahari.

Kehidupan bangsa Arab di negeri antara dua sungai pada masa lampau telah mencapai tingkat kehidupan yang makmur. Hal ini berpengaruh terhadap akuntansi yang ada dikalangan orang Arab, yaitu konstruksi kehidupan sosial di negeri Rafidin atau yang dikenal dengan nama neggeri anatara da sungai mulai berbuat untuk melayani kebutuhan merekan dalam bidang perdagangan dan industri yang maju saat itu. Ensiklopedi Britanian menunjukkan bahwa negeri Rafidin juga dikenal dengan nama Jaziratul Arabiyah.

Kemajuan dalam bidang perdagangan dan sosial serta keterkaitannya dengan penemuan tulisan dalam kapasitasnya sebagai sesuatu yang penting yang sangat dibutuhkan oleh keadaan pada saat itu, medorong salah seorang peneliti untuk mengatakan bahwa orang-orang Finiqiya pernnah menggunakan huruf paku yang pernah digunakan di negeri Rafidin, namun setelah itu mereka menemukan huruf-huruf khas mereka yang kemudian digunakan oleh orang Yunani. Huruf – Finiqiyah ini memiliki karakter tersendiri, menarik, ditulis dari arah kanan ke kiri.

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perkembangan dan kemajuan dalam bidang perdagangan dan sosial berimplikasi pada penemuan tulisan, dan tulisan dengan perannya berimplikasi pada peletakan batu dasar bagi akuntansi. Semuanya ini terjadi di wilayah tersebut yang merupakan bagian dari dunia Arab. Dan tdak mustahil hal seperti itu terjadi pula di wilayah yang lain dari dunia Arabm di samping negeri antara dau sungai. Namun sampai sekarang, berbagai ekskavasi tidak menunjukkan hal itu, atau dalam bentuk yang lebih rinci lagi tidak ada seorang pun yang mempelajari ekskavasi itu dari segi perdagangan dan akuntansi, khususny dalam hal yang berkaitan dengan Yaman dan masa-masa keemasan yang dialaminya.

Tulisan Sumariyah termasuk bentuk tulisan yang terdahulu secara umum, karena tulisan Mishiriyah (Mesir) muncul setelah itu. Kedua bentuk tulisan itu yaitu Sumariyah dan Mishiriyah terbentu dari rumus-rumus sesuatu dan dikenal dengan nama pictographic yaitu tulisan dalam bentuk gambar.

Demikian pula buku akunansi yang digunakan di Sumar dan Babilonia, yang sifatnya mengandung hitungan berimbang (neraca), menurut pemikiran James Snyder mungkin dikategorikan sebagai sistem Sumariyah untuk sistem Al-Qaidul Muzdawaj (Double Entry Bookeeping).

Penduduk negeri antara dua sungai telah menggunakan papan tulis tembikar y aang bertuliskan denga huruf paku untuk mencatat hitungan mereka. Meskipun sederhana itu sudah cukup dan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam bidang perdagangan dan sosial. Babilonia telah dikenal dengan pekerjaan penukaran uang sejak masa yang tidak dikenal sampai abad IV SM.

Tujuan dari penggunaan akntansi di kalangan orang Arab adalah untuk mengukur keuntungan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai munculnya nega Islam pada tahun 1 H atau 622 M. Adapun akuntansi sebagai sarana pembantu dalam pengambilan keputusan belumlah difungsikan sampai munculnya negara Islam. Bagi orang-orang Arab pra Islam, perhitungan keuntungan dilakukan dengan cara mengetahui kelebihan pada modal murni antara awal dan kahir (saldo akhir) masa perdagangn. Bagi orang-orang Arab Hijaz, keuntungan dihitung dua kali: pertama setelah perjalanan dagang ke Yaman pada musim dingin, dan kedua setelah perjalanan dagang ke Syam pada musim panas. Tampaknya, karena minimnya bukti yang ada yang menjelaskan tentang sejarah akuntansi di dunia Arab seperti Babilonia, oarng Arab pra – Islam tidak memberikan perhatian terhadap pencatatan penemuan mereka dan perkembangan kehidpan mereka. Mereka menyebarkan pengetahuan kepada para generasi secara lisan, dari orang ke orang. Orang Arab memiliki keistimewaan dalam hal kekuatan hafalan dan daya tangkapnya. Hal seperti ini terus berlangsung sampai pada awal masa Islam. Namun, dengan tumbuhnya negara Islam, hal ini mengalami perubahan yang cepat, karena pencatatan penemuan dan ilmu mulai perannya, yaitu berawal dari pencatatan hadits Rasulullah Muhammad SAW.



Akuntansi Zaman Nabi Yusuf as.

Jika kita kaji kembali kisah-kisah para nabi di Al-Qur¡¦an, maka
seorang akuntan sewajarnya tertegun pada saat membaca kisah nabi
yusuf. Dimana saat nabi yusuf mengartikan mimpi raja mesir, tercantum
pada surat Yusuf ayat 46-49 yang berbunyi:





” hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang 7 ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh sapi berina yang kurus-kurus dan 7 bulir gandum yang hijau dan lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya. Yusuf berkata: supaya kamu bertanam tujuh tahun
sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari yang kamu simpan. ”

Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dan dimasa itu memeras anggur kemudian nabi yusuf diangkat sebagai bendaharawan mesir ini tercantum pada surat Yusuf ayat 55 yang berbunyi:

” Berkata yusuf: jadikanlah aku bendaharawan; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan¨.

Dan seperti yang kita ketahui, kemudian datanglah hal yang seperti mimpi raja tersebut. Maka nabi Yusuf yang saat itu menjadi bendaharawan negara mengatur distribusi kekayaan kerajaan dan juga mengurus distribusi bantuan pangan bagi orang-orang yang terkena dampak kemarau panjang meskipun yang membutuhkan bantuan itu berasal dari negara lain. Tidaklah mungkin nabi yusuf dapat melakukan itu semua tanpa sistem pencatatan yang baik serta perhitungan yang akurat. Hanya saja karena masanya yang telah lama berlalu, sehingga sulit untuk menemukan bukti mengenai bagaimana cara pencatatan keuangan pada masa itu.



Sejarah Akuntansi di Kalangan Orang Islam

Sesosok Luca Pacioli yang disebut-sebut sebagai Bapak Akuntansi Modern , atau akan lebih banyak lagi yang belum tahu kesenjangan jarak waktu dan history yang terbentang jauh antara jaman “ jahiliyyah “ yang dialami dunia barat (1494 M) seorang Luca Pacioly berdasarkan nasab , seorang pendeta Kristen , pada tahun 1494 M dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Summa De Arithmetica , Geometry, proportion berdasarkan catatan peneliti pada tahun 1963 M adanya sebuah rekomendasi-rekomendasi yang jauh lbih valid bahkan disusun lebih valid dan menjadi dasar pencatatan selanjutnya oleh Pacioli tahun 1363 M yakni Abdullah Al Mazindaani dalam kitabnya Risalah Al Falakiyah kitab As Siqayat dengan kata lain apa yang dilakukan oleh Pacioli hanyalah berperan sebagai penukil , pencatat , terhadap apa yang beredar saat itu .

Ada banyak hal yang membuat perhatian saat mempelajari sebuah buku yang di susun oleh Prof. Dr. Umar Abdullah Zaid salah satu pada Bab Kedua yang masih berkutat tentang sejarah akuntansi islam yang kemudian di manipulasi oleh para intelektual barat karena begitu penting diluruskan apa yang selama ini dijadikan banyak acuan para intelektual seluruh dunia akan tradisi plagiatisme keilmuan yang malah terlihat seperti telah begitu biasa maka semuanya mengantarkan kesimpulan logika yang bertentangan dengan fakta sejarah yang telah ada . Seperti yang dicatat oleh Prof .Dr.Umar Abdullah Bin Zaid pada halaman 31 mengatakan “ Mungkin dapat dikatakan bahwa saat itu Eropa hidup pada masa kegelapan ,kaum muslimin telah menggunakan akuntansi dan ikut andil , dalam mengembangkannya .sementara itu , peradaban islam dalam sebuah fase yang subur dan berkembang pesat di dunia dengan syariat islam sebagai fondasinya dan berhasil mengintegrasikan antara tuntunan spiritual dan material



Æ÷tGö/$#ur !$yJ‹Ïù š9t?#uä ª!$# u‘#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u‹÷R‘‰9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šø‹s9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# ’Îû ÇÚö‘F{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† tûïωšøÿßJø9$# ÇÐÐÈ



Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Surah Al Qashashas : 77)



Jika mau dirunut secara kronologis bagaimana awal kelahiran dan pertumbuhan Akuntansi di dunia Islam yang ternyata telah berkembang jauh sebelum dekade ini Akuntansi Kapitalis mencatat bahwa Akuntansi dengan sistem Double Entries atau dikenal di kalangan awam sebagai debet –kredit . Maka Akuntansi sebagai bagian yang inheren dengan kultur, identitas, dan kebudayaan serta peradaban Islam telah dimulai sejak pertama kali Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mendirikan sebuah masyarakat dan negara Islam di Madinah telah dimulai. Terutama ketika bertambahnya pemasukan negara dari pelbagai hasil taklukan dan zakat yang dikumpulkan dalam lembaga pengumpulan pemasukan harta negara yang kelak dikenal dengan Baitul Maal.

Pada era pertumbuhan dan perkembangan berikutnya Khalifah Umar Ibn Khattab pada tahun 14-24 H memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatnnya. Umar Ibn Khattab dalam sebuah riwayat diceritakan mengangkat dan menggaji staf-staf pencatat sumber pemasukan dan pengeluaran. Pada era khalifah kedua setelah Abu Bakar ini tercatat dalam sejarah yang paling banyak terjadi kemajuan dalam hal keuangan public dan perekonomian negara Islam. Mulai ada pembukuan dan dokumentasi yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan.

Sistematika pencatatan transaksi dan pencatatan sumber pendapatan negara secara tersusun sistematis rupanya telah dimulai dan dikembangkan sejak era kekhalifahan Al Walid Ibn Abdul Malik pada tahun 86-96. Setelah itu proses pertumbuhan dan perkembangan Akuntansi di dunia Islam mecapai puncaknya pada era Kekhalifahan Abbasiyah. Dalam Kerangka Sejarah dan Teori Akuntansi Keuangan Dalam Masyarakat Islam yang ditulis oleh Prof .Dr. Umar Abdullah Zaid dan diterjemahkan oleh Muhammad Syafi’i Antonio ,M.Ec dipaparkan bahwa salah satu bukti telah tersusunnya secara sistematis Akuntansi dalam bentuk pembukuan dan jurnal pada tahun 132 H / 749 M. Jurnal-jurnal pencatatan dalam proses pembukuan Akuntansi lebih dikenal dengan nama Jaridah yang kemudian diterjemahkan menjadi Journal sebagaimana yang tercacat dalam bukunya Luca Pacioly dan terjemahan latin Zornal sebagaimana yang dikenal di Venice , Italy.

Artinya Proses penumbuhan Akuntansi di dunia Islam telah digunakan sekitar 745 tahun sebelum kemunculan buku Pacioly yang berjudul Summa De Arithmetica, Geometry, proportion. Kemudian barulah Akuntansi Islam menemukan puncak kegemilangannnya di tahun 765 H/1363 M dengan sebuah manuskrip yang disusun oleh Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani. bertajuk Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat. Walaupun sebelum Al Mazindarani menyusun manuskripnya tersebut

Penulis muslim lainnya yang juga telah menyusun sebuah karya tentang perkembangan Akuntansi dan penggunaaanya dalam masyarakat Islam juga telah dimulai oleh An Nuwairi (734H/1336M) dan Ibnu Khaldun (167H/784M)



Jejak –Jejak kegemilangan akuntansi islam

Disinilah gunanya sebuah pemurnian yang dikembalikan dengan jujur, saat plagiatisme menjelma budaya lumrah, atau saat telah tertutup mata dunia dengan segenap keangkuhannya pada karya gemilang yang pernah direntas oleh putra-putri islam terbaik sepanjang masa. Antara jejak-jejak ingatan kolektif masyarakat terkaburkan oleh sikap yang memang disengaja menghilangkan selenyap-lenyapnya dari muka bumi kegemilangan yang pernah direntas bersama kepingan-kepingan bagai puzzle, kepingan-kepingan yang disusun oleh tangan-tangan insan berdedikasi dan keimanan yang bukan lahir dari lubuk formalitas dan retorika lidah menggulirkan wacana, ia hanyalah satu jejak dari berribu-ribu jejak lainnya mengisyaratkan keteladanan kemudian diwariskan olehnya keteladanan tersebut untuk generasi berikutnya.

Jejak kegemilangan yang memang sengaja dikaburkan melalui sederet kisah pemusnahan manuskrip berharga sepertti yang pernah dilakukan oleh pasukan barbar terhadap kekhalifahan terakhir Dinasti Abbasiyah sampai-sampai seorang ulama sejarawan yang masyhur pernah mencatat tentang sungai di sepanjang Baghdad menjelma hitam karena lautan tinta dari buku-buku yang dihanyutkan ke sungai tersebut, Seperti yang pernah dipaparkan pada paragraph sebelumnya, jauh seorang pendeta Kristen pada tahun 1494 M yang bernama Lucas Pacioli dalam jangka perbedaan waktu Selama 131 tahun di depan karya yang diterbitkan oleh Lucas Pacioli serta memuat pembukuan dua belas kolom atau kolom tunggal, pada tahun 1363 M yakni Abdullah bin Muhammad Al Mazindarani telah merentas dan disempurnakan olehnya untuk selanjutnya dapat diaplikasikan dalam system Akuntansi yang tengah popular saat itu tahun 765 H/1363 M

· Akuntansi Bangunan

· Akuntasi Pertanian

· Akuntansi Pergudangan

· Akuntansi Pemuatan Uang

· Akuntasi Pemeliharaan Binatang

Bahkan di antara yang sangat unik dalam pencatatan pembukuan pada masa tersebut dan juga merupakan pembeda antara Akuntansi yang murni syariah dengan konvensional adalah sebgai berikut

· Sebelum menyiapkan laporan atau dimuat di buku-buku Akuntansi harus dimulai dengan Basmallah. Hal inilah yang juga disebutkn oleh Lucas Pacioli 131 tahun kemudian.

· Laporan keuangan dibuat berdasarkan fakta buku Akuntansi yang digunakan, di antara laporan keuangan yang pernah dibuat di Negara islam yang terkenal adalah Al-Khitamah dan Al-Khitamatul Jami'ah. Al Khitamah merupakan sebuah laporan keuangan tiap akhir bulan dan juga memuat pemasukan serta pengeluaran sesuai kelompok jenisnya sedangkan Al-Khitamatul Jami'ah laporan keuangan yang ditujukan untuk orang yang lebih tinggi derajatnya untuk kemudian diberi persetujuan laporan keuangan yang persetujuanya diberi nama Al Muwafaqah namun apabila ia tak disetujui maka ia dinamakan Muhasabah karena adanya perbedaan pada data-data yang dimuat dalam laporan keuangan

· Ketika melakukan transaksi jual beli, tanda terima diberikan kepada pembeli atau disebut juga dengan Thiraz sedangkan copiannya atau salinan disebut sebagai syahid yang kemudian disimpan oleh Akuntan untuk kemudian dipertanggungjawabkan dan disetujui oleh pimpinan kantor, menteri, atau sulthan dan apabila transaksi perdagangan terjadi di luar kota salinan syahid tersebut dikirim ke ibukota wilayah islam untuk kemudian diberikan persetujuan oleh Sultan dan disimpan sebagai dasar pembukuan dasar kantor pusat

· Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan keuangan dalam setahun dan secara rinci

· Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam kelompok-kelompok yang sejenis





Referensi :

§ Al Qur’an dan Terjemahan



§ Harahap, Sofyan Syafri, 2001, Akutansi Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta.



§ Harahap, Sofyan Syafri, Bunga Rampai Akuntansi Islam, Jakarta



§ Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi 3, Jakarta.



§ Muhammad, 2002, Pengantar Akuntansi Syari’ah, Salemba Empat, Jakarta.



§ Perwataatmada, Karnaen, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah Pasca Sarjana UI, Jakarta.



§ Wiyono, Slamet, 2005, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasar PSAK dan PAPSI , Grasindo, Jakarta.



§ Zaid, Umar Abdullah, 2004, Akuntansi Syariah : Kerangka Dasar dan Sejarah Keuangan Dalam Masyarakat Islam, Edisi Terjemahan, LPFE – Universitas Trisakti, Jakarta.

SEJARAH PERBANKAN SYARIAH

A. PENDAHULUAN

Dalam Bab 1 kita telah mendapatkan gambaran mengenai cakupan
ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek hidup manusia. Kita juga
telah membahas bahwa walaupun di zaman Nabi SAW belum ada
institusi bank, tetapi ajaran Islam sudah memberikan prinsip-prinsip
dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktifitas
perdagangan dan perekonomian. Karena itu, dalam menghadapi
masalah muamalah kontemporer yang harus dilakukan hanyalah
mengidentifikasi prinsip-prinsip dan filosofi dasar ajaran Islam dalam
bidang ekonomi, dan kemudian mengidentifkasi semua hal yang
dilarang. Setelah kedua hal ini dilakukan, maka kita dapat melakukan
inovasi dan kreativitas (ijtihad) seluas-luasnya untuk memecahkan
segala persoalan muamalah kontemporer, termasuk persoalan
perbankan.
gambar 2.1.
Namun, sebelum “proses ijtihad” dalam persoalan perbankan ini
kita lakukan, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu apakah persoalan
perbankan ini benar-benar merupakan suatu persoalan yang baru bagi
umat Islam atau bukan. Apakah konsep “bank” merupakan konsep
yang asing dalam sejarah perekonomian umat Islam? Pertanyaan ini
Apakah Perbankan
Syariah merupakan
konsep yang baru?
Ya Mulai dari nol
Tidak Lebih mudah
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
19
amat penting untuk dijawab karena akan menentukan langkah kita
selanjutnya. Bila konsep bank adalah konsep yang baru bagi umat
Islam, maka kita harus memulai langkah ijtihad kita dari nol. Namun,
bila konsep bank bukan konsep yang baru, artinya umat Islam sudah
mengenal bahkan mempraktekkan fungsi-fungsi perbankan dalam
kehidupan perekonomiannya, maka proses ijtihad yang harus kita
lakukan tentunya akan menjadi lebih mudah. Bab ini akan
memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, dengan menelusuri
secara singkat praktek-praktek perbankan yang dilakukan oleh umat
muslim sepanjang sejarah.
B. PRAKTEK PERBANKAN DI ZAMAN NABI SAW DAN SAHABAT
Perbankan adalah satu lembaga yang
melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu
menerima simpanan uang, meminjamkan
uang, dan memberikan jasa pengiriman
uang. Di dalam sejarah perekonomian
kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan
dengan akad yang sesuai syariah
telah menjadi bagian dari tradisi umat
Islam sejak jaman Rasulullah saw.
Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang
untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta
melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman
Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern
yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer
dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat
Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah.
Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya
oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat
terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali
ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya.1
Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan
tersebut.
1 Sami Hamoud, Islamic Banking, Arabian Information Ltd, London, 1985
Bank:
Lembaga yang melaksanakan
3 fungsi utama:
1. menerima simpanan uang
2. meminjamkan uang
3. memberikan jasa
pengiriman uang
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
20
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak
menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk
pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda:
pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau
mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya
pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh.2
Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke
Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan
pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.3
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan
meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang
paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin
Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan
kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka
mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir.4
Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti
mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak
awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.5
Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan
fungsi perbankan di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu
tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat
yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang
melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan
fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
2 Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Berita Publishing Sdn Bhd, Kuala
Lumpur, 1996
3 Sudin Haron, ibid
4 Kadim Sadr, “Money and Monetary Policies in Early Islam”, Essay on Iqtisad, Nur Copr.,
Silver Spring, 1989
5 Kadim Sadr, ibid
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
21
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah
ilmu fiqih, seperti istilah kredit (Inggris: credit; Romawi: credo) yang
diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti
meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard
dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan.
Begitu pula istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque) yang diambil
dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar,
sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
C. PRAKTEK PERBANKAN DI ZAMAN BANI UMAYYAH DAN
BANI ABASIAH
Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam,
karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di
masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani
Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit,
menyalurkan dana, dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya
dengan akad yang sesuai syariah.
Di jaman Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh
perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi
saja.
Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan
dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan
oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman
Fungsi-fungsi Bank sudah dipraktekkan oleh para sahabat di
zaman Nabi SAW:
1. Menerima Simpanan Uang
2. Memberikan Pembiayaan
3. Jasa Transfer Uang
Biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja.
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
22
Abbasiyah6. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar
banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian
khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang
lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai
kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai
yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek
penukaran mata uang (money changer).
Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M)
yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud.
Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang
yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada
pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir
mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu
Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa
menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn
Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang bankir
sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen.
6 Adiwarman Karim, “Bankir Yahudi pada Zaman Abbasiyah”, Ekonomi Islam Suatu
Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Jihbiz vs. Bank: Persamaan dan Perbedaan
Persamaan:
Jihbiz & Bank sama-sama melakukan fungsi-fungsi berikut ini:
• To accept deposits
• To channel financing
• To transfer money
Perbedaan:
• Jihbiz dikelola oleh individu
• Bank dikelola oleh institusi
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
23
Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan
beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran.
Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima
deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang
terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya
tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer
yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai
penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan
pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-
Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang
menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan
Aleppo (Spanyol sekarang).7
D. PRAKTEK PERBANKAN DI EROPA
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan yang dilakukan oleh
perorangan jihbiz kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini
dikenal sebagai institusi bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan
praktek perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang
dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fikih
adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga ini
semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545
membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba
(usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda
(excessive). Ketika Raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja
Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak
berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I
yang kembali membolehkan bunga uang.8
Selanjutnya, bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya
dan mengalami renaissance. Penjelajahan dan penjajahan mulai
dilakukan ke seluruh penjuru dunia, sehingga kegiatan perekonomian
7 Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling
Jaya, 1997, h. 2. Lihat dalam Sami Hassan Homoud, Progress of Islamic Banking: The
Aspirations and the Realities. Islamic Economic Studies, Vol. 2 No. 1, December, 1994,
71-80.
8 Adiwarman Karim, “Ketika Riba Menjadi Bunga”, ibid.
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
24
dunia mulai didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang
sama, peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara
muslim satu per satu jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsabangsa
Eropa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat muslim
runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa.
Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern kini. Karena
itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara
muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis
bunga.
E. PERBANKAN SYARIAH MODERN
Selanjutnya, karena bunga ini secara fikih dikategorikan sebagai
riba (dan karenanya haram), maka mulai timbul usaha-usaha di
sejumlah negara muslim untuk mendirikan lembaga alternatif terhadap
bank yang ribawi ini. Hal ini terjadi terutama setelah bangsa-bangsa
muslim mendapatkan kemerdekaannya dari penjajahan bangsa-bangsa
Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga
pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 40-an,
namun usaha ini tidak sukses.9 Selanjutnya, eksperimen lainnya
dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 50-an, di mana suatu lembaga
perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu.10
Namun demikian, eksperimen pendirian bank syariah yang paling
sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun
1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini
mendapat sambutan yang cukup hangat di Mesir, terutama dari
kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Jumlah deposan bank ini
meningkat luar biasa dari 17,560 di tahun pertama (1963/1964)
menjadi 251,152 pada 1966/1967. Jumlah tabungan pun meningkat
drastis dari LE40,944 di akhir tahun pertama (1963/1964) menjadi
LE1,828,375 di akhir periode 1966/1967. Namun sayang, karena
terjadi kekacauan politik di Mesir maka Mit Ghamr mulai mengalami
kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National Bank
9 Haron, op.cit. h. 3.
10 Ibid, h. 3. Lihat dalam Rodney Wilson, Banking and Finance in the Arab Middle East,
Surrey (England), MacMillan Publisher Ltd, 1983.
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
25
of Egypt dan bank sentral Mesir pada 1967. Pengambilalihan ini
menyebabkan prinsip nirbunga pada Mit Ghamr mulai ditinggalkan,
sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada 1971
akhirnya konsep nir-bunga kembali dibangkitkan pada masa rezim
Sadat melalui pendirian Nasser Social Bank. Tujuan bank ini adalah
untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang telah
dipraktekkan oleh Mit Ghamr.11
Kesuksesan Mit Ghamr ini memberi inspirasi bagi umat muslim di
seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip
Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Ketika
OKI akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi internasional mulai
dilangsungkan, di mana salah satu agenda ekonominya adalah
pendirian bank Islam. Akhirnya terbentuklah Islamic Development
Bank (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara
Islam pendiri. Bank ini menyediakan bantuan finansial untuk
pembangunan negara-negara anggotanya, membantu mereka untuk
mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan memainkan
peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan
keuangan Islam. Kini, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu
telah memiliki lebih dari 43 negara anggota.
Pada perkembangan selanjutnya di era 70-an, usaha-usaha untuk
mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa
negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan, bahkan mengubah seluruh
sistem keuangan di negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga
semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa
menggunakan bunga. Di negara Islam lainnya seperti Malaysia dan
Indonesia, bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan bankbank
konvensional.
Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan ke negaranegara
Barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat
sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, yakni pada
11 Ibid, p. 3-4.
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
26
tahun 1983 di Denmark.12 Kini, bank-bank besar dari negara-negara
Barat seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardine
Fleming telah pula membuka Islamic window agar dapat memberikan
jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan syariat Islam.
Gambar 2.2 di bawah ini memberikan peta singkat evolusi kegiatan
perbankan yang dipraktekkan oleh masyarakat muslim sepanjang
sejarah. Jadi dari segi proses evolusi, embrio kegiatan perbankan
dalam masyarakat Islam dilakukan oleh seorang individu untuk satu
fungsi perbankan. Kemudian berkembang profesi jihbiz, yaitu seorang
individu melakukan ketiga fungsi perbankan. Lalu kegiatan tersebut
diadopsi oleh masyarakat Eropa abad pertengahan, dan pengelolaannya
dilakukan oleh institusi, namun kegiatannya mulai dilakukan
dengan basis bunga. Karena mundurnya peradaban umat muslim dan
penjajahan bangsa-bangsa Barat terhadap negara-negara muslim,
maka evolusi praktek perbankan yang sesuai syariah sempat terhenti
beberapa abad. Baru pada abad 20 ketika bangsa muslim mulai
merdeka, terbentuklah bank syariah modern di sejumlah negara dan
insya Allah akan terus mengalami perkembangan.
12 Mr. Erik Trolle-Schultz, How the First Islamic Bank was Established in Europe, dalam
Islamic Banking and Finance, Butterworths Editorial Staff, London, 1986. h. 43-52.
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
27
gambar 2.2.
F. PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada tahun
1992 adalah Bank Muamalat. Walaupun perkembangannya agak
terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya,
perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang. Bila pada
tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah di Indonesia, maka
pada 1999 jumlahnya bertambah menjadi tiga unit. Pada tahun 2000,
bank syariah maupun bank konvensional yang membuka unit usaha
syariah telah meningkat menjadi 6 unit. Sedangkan jumlah BPRS
(Bank Perkreditan Rakyat Syariah) sudah mencapai 86 unit dan masih
akan bertambah. Di tahun-tahun mendatang, jumlah bank syariah ini
2. jihbiz,
seorang individu melakukan ketiga fungsi perbankan
1. individu,
(Nabi/sahabat) melakukan satu fungsi perbankan
3. bank,
sebuah institusi melakukan ketiga fungsi
perbankan (diadopsi oleh masyarakat Eropa
abad pertengahan, namun kegiatannya mulai
dilakukan dengan basis bunga).
4. bank syariah modern,
institusi yang melakukan ketiga fungsi perbankan,
dengan berlandaskan syariah Islam.
Evolusi kegiatan perbankan dalam
masyarakat Islam:
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
28
akan terus meningkat seiring dengan masuknya pemain-pemain baru,
bertambahnya jumlah kantor cabang bank syariah yang sudah ada,
maupun dengan dibukanya Islamic window di bank-bank konvensional.
Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting,
diproyeksikan bahwa total aset bank syariah di Indonesia akan tumbuh
sebesar 2850% selama 8 tahun, atau rata-rata tumbuh 356.25 % tiap
tahunnya. Sebuah pertumbuhan aset yang sangat mengesankan.
Tumbuh kembangnya aset bank syariah ini dikarenakan adanya
kepastian di sisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat
tentang keberadaan bank syariah.
The Growth of Sharia Banks' Asset
27,468,797.00
80,841,345.00
0.00
10,000,000.00
20,000,000.00
30,000,000.00
40,000,000.00
50,000,000.00
60,000,000.00
70,000,000.00
80,000,000.00
90,000,000.00
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2005
2010
in billion rupiah
Sumber: Karim Business Consulting, 2002.
gambar 2.3.
Perkembangan perbankan syariah ini tentunya juga harus
didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Namun realitas yang ada menunjukkan
bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di
institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis
dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan
mempengaruhi produktifitas dan profesionalisme perbankan syariah itu
sendiri. Dan inilah memang yang harus mendapatkan perhatian dari
kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang mampu
BAB 2, SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
29
mengamalkan ekonomi syariah di semua lini. Karena sistem yang baik
tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya
insani yang baik pula.
Kesimpulan
Setelah kita menelusuri secara singkat sejarah praktek perbankan
yang dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fikih Islam tidak mengenal kata
“Bank”, namun sesungguhnya bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa
fungsi-fungsi perbankan modern telah dipraktekkan oleh umat muslim,
bahkan sejak zaman nabi Muhammad saw. Praktek-praktek fungsi
perbankan ini tentunya berkembang secara berangsur-angsur dan
mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring
dengan naik-turunnya peradaban umat muslim. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang
asing bagi umat muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan
konsep bank modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai
dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya Allah akan menjadi
lebih mudah.

Refleksi Agama