Sejarah akuntansi syariah (baca akuntansi zakat), sebenarnya
sudah lama lahir. Jika diruntut, sejak ada perintah untuk
membayar zakat itu. Adanya perintah membayar zakat
itulah mendorong pemerintah untuk membuat laporan
keuangan secara periodik Baitul Maal, sementara para
pedagang muslim atau produsen muslim wajib menghitung hartanya
(assetnya) apakah sudah sesuai dengan nishabnya (batas harta yang
harus dibayarkan).
Penghitungan dengan sistem akuntan syariah itu di Indonesia belum
terbiasa. Maklum, Bank Mualamat saja, sebagai Bank Syariah Islam
pertama di Indonesia baru berdiri pada awal Nopember 1991. Itu
artinya akuntan syariah baru akan lahir setelah puluhan tahun bank itu
berdiri. Tetapi fenomena munculnya transaksi syariah, usaha syariah
di kalangan pebisnis Indonesia, kini telah mendorong lahirnya para
akuntan syariah untuk lebih mendalami masalah audit di bidang zakat
dan bentuk perdagangan lainnya secara syariah Islam.
Itu sebabnya, penyusunan dan penyempurnaan akuntansi zakat
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan sebuah keharusan.
Mengapa? ”Karena ini sebuah keniscayaan sejarah untuk pelaksanaan
dan pengelolaan zakat sesuai dengan kaedah syariah Islam dan sejalan
dengan adanya konsep GCG/ good governance,” ujar Dr. Setiawan
Budi Utomo, Ketua Tim Kerja Akuntansi Zakat IAI, kepada Muh.
Yusuf, wartawan Akuntan Indonesia, di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Setiawan, posisi amilin (pengelola zakat) yang diformalkan
dalam bentuk LAZ maupun BAZ merupakan lembaga kepercayaan
publik yang sensitif pada isu public trust (kepercayaan publik) dalam
penghimpunan dan penyaluran dana zakat.
Berikut petikan wawancara itu.
Apa latar belakang penyusunan Standar
Akuntansi Syariah dan Zakat?
UU Zakat mewajibkan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) maupun
Badan Amil Zakat (BAZ) untuk diaudit secara independen atas laporan
keuangannya. Sayangnya, sampai kini, di Indonesia, belum ada standar
akuntansi untuk zakat yang dikeluarkan oleh standard setter akuntansi
syariah, IAI. Yang ada, baru pedoman akuntansi yang dibuat secara
mandiri oleh masing-masing institusi dan lembaga.
Akibatnya, banyak ditemukan kesulitan dan dispute oleh para auditor
dari Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam melaksanakan tugasnya di
lapangan mengingat ketiadaan standar akuntasi zakat itu, disamping
adanya beragam interpretasi, pedoman akuntansi yang digunakan
serta beragamnya pendapat fikih (ketentuan hukum syariah) seputar
pelaksanaan dan pengelolaan zakat.
Hal itu, sama persoalannya dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
baik bank maupun nonbank serta Lembaga Bisnis Syariah (LBS). Usaha
ini memerlukan standar akuntasi untuk setiap transaksinya, sebab LKS
dan LBS memilki akuntabilitas dan komitmen untuk melaksanakan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang pada utamanya
adalah transaksinya secara syariah.
Konteksnya dengan zakat?
Zakat merupakan salah satu bentuk transaksi syariah dalam domain
sosial sehingga perlu pengaturan sendiri perlakuan akuntansinya yang
bersifat standar sebagaiamana dalam transaksi komersial dikenal
mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istishna’, dsb.
Dengan demikian, penyusunan akuntansi zakat oleh IAI merupakan
sebuah kaharusan syariah zakat sekaligus sebuah meniscayaan sejarah
untuk pelaksanaan dan pengelolaan zakat yang sesuai dengan kaedah
syariah. Ini juga sekaligus untuk memenuhi tuntutan dan ketentuan
good governance yang meliputi transparency, responsibility, accountability,
fairness, dan independency.
Posisi amilin (pengelola zakat) yang diformalkan dalam bentuk LAZ
maupun BAZ merupakan lembaga kepercayaan publik yang sensitif
pada isu public trust (kepercayaan publik) dalam penghimpunan dan
penyaluran dana-dana zakat. Jadi, Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 109 yaitu mengenai Akuntansi Zakat, Infak dan
Sedekah ini untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan transaksi zakat, infak, dan sedekah.
Lalu, apa saja cakupan pengaturan dalam
standar Akuntansi zakat itu?
Ruang lingkup dan cakupan pengaturan standar akuntansi zakat
pada akhirnya akan diperuntukkan bagi entitas yang menerima dan
menyalurkan zakat, infak dan sedekah (amil); Entitas yang membayar
zakat (muzakki); dan Entitas yang menerima zakat (mustahiq).
Srandar ini tidak berlaku untuk entitas yang melakukan aktivitas
penerimaan dan penyaluran zakat tetapi bukan sebagai kegiatan
utamanya. Entitas itu harus mengikuti ketentuan dalam PSAK 101
mengenai Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Standar ini juga menegaskan, entitas yang menerima dan menyalurkan
zakat, infak, dan sedekah yang disebut entitas pengelola zakat, infak,
dan sedekah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik
yang dimiliki oleh pemerintah maupun nonpemerintah.
Dr. Setiawan Budi Utomo
Ketua Tim Kerja Akuntansi Zakat
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
Akuntansi Zakat
Sebua h Keharusan
edisi ke2 new size.indd 14 5/6/2008 3:08:36 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n
15 ai
Laporan Utama
Standar akuntasi ini tidak hanya mengatur transaksi zakat saja
melainkan infak/sedekah, maka akan diatur juga dalam penjelasannya
mengenai Zakat yaitu sebagian dari harta yang wajib dikeluarkan
oleh wajib zakat (muzakki) untuk diserahkan kepada penerima zakat
(mustahiq). Di samping itu juga dijelaskan mengenai infak/sedekah
yaitu sebagian harta yang tidak wajib dikeluarkan oleh pemiliknya,
yang diserahkan yang peruntukannya dapat tertentu (muqayyadah)
atau tidak tertentu (mutlaqah).
Agar memenuhi syarat dan rukun zakat, diatur pula ketentuan
mengenai nisab yaitu batas minimum atas kepemilikan sejumlah harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya dalam satu tahun. Juga penerima zakat
(mustahiq) adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
Demikian pula menangani wajib zakat (muzakki) adalah orang atau
badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan
zakat.
Kini lembaga amil zakat sudah
berkembang sejauh mana?
Pengelolaan zakat di Indonesia sebelum tahun 90-an memiliki beberapa
ciri khas, seperti, diberikan langsung oleh muzakki. Jika melalui amil
zakat hanya terbatas pada zakat fitrah dan zakat yang diberikan pada
umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. Jenis
zakat hanya terbatas pada harta-harta yang secara eksplisit (manthuq)
dikemukakan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi, yaitu
emas dan perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan
makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba),
perdagangan (terbatas pada komoditas yang berbentuk barang), dan
rikaz (harta temuan).
Kondisi itu diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain, belum
tumbuhnya lembaga pemungut zakat, rendahnya kepercayaan
masyarakat pada amil zakat dan profesi amil zakat masih dianggap
profesi sambilan.
Sedangkan perkembangan zakat setelah tahun 90-an sampai kini
terutama, pengelolaan zakat telah diatur melalui UU No. 38/1999
tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)
No. 581/ 1999 dan Keputusan Dirjend Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Tujuan pengelolaan zakat, antara lain, meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat,
meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan keadilan sosial, serta Meningkatkan hasil guna
dan daya guna zakat.
UU itu juga mengatur keorganisasian pengelola
zakat yang terdiri atas dua jenis, yaitu Badan Amil
Zakat dan Lembaga Amil Zakat.
Setiap pengelola yang karena kelalaiannya tidak
mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang
zakat, infaq, dan hibah, diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyakbanyaknya
Rp. 30 juta. Sanksi ini agar BAZ dan LAZ lebih baik dalam
melakukan pengelola zakat.
Pengumpulan zakat, meski masih jauh dengan potensinya, bagi
kalangan potensi zakat di Indonesia lebih dari Rp 7 triliun setiap
tahun. Dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yang cukup berarti.
Bulan Ramadhan 1425 H, BAZ dan LAZ Nasional menghimpun zakat
sebesar Rp 35 miliar, tahun berikiutnya sebesar Rp 47,2 miliar.
Demikian pula pendayagunaan zakat sudah didasarkan pada
program-program yang disusun oleh BAZ dan LAZ maupun oleh
program sinergi seperti Perbankan Syariah Peduli Umat (PSPU) yang
dikoordinasikan oleh bank Indonesia bekerjasama dengan BAZNAS
dan perbankan syariah dengan memperhatikan kondisi mustahiq dan
skala prioritas, seperti pemberian beasiswa dari tingkat SD sampai
perguruan tinggi, pemanfaatan dana zakat bersifat produktif, dan
mendirikan rumah sakit gratis untuk kaum dhu’afa.
Sejak tahun 90-an kalangan pers banyak
andil dalam pengelolaan zakat, begitu juga
kalangan ormas Islam.
Bagaimana perkembangannya?
Ya. Pengelolaan zakat nasional memasuki sejarah baru pada tahun
1993, dengan berdirinya Dompet Dhuafa Republika. Lembaga ini
merupakan lembaga pengelola zakat yang didirikan para jurnalis dan
didukung oleh koran berbasis Islam, kemudian menjadi organisasi
pengelola zakat yang independen dan mandiri.
Dompet Dhuafa Republika dikenal oleh publik sebagai lembaga
zakat yang mempelopori model pengelolaan zakat secara profesional.
Kepercayaan masyarakat ditunjukkan dengan terus meningkatnya
dana sosial yang dihimpun dalam bentuk zakat, infak/sedekah, wakaf,
dana kemanusiaan dan dana kurban.
Pada periode ini kemunculan organisasi pengelola zakat yang
dibentuk masyarakat semakin banyak, baik dalam lingkup organisasi
keislaman, maupun perusahaan. Banyaknya organisasi pengelola
zakat mendorong interaksi dan komunikasi antar
pengelola zakat. Salah satu peran yang dimainkan
Dompet Dhuafa Republika pada kondisi ini,
berinsiatif untuk membentuk Asosiasi organisasi
pengelola Zakat “Forum Zakat” (disingkat FOZ)
pada 7 Juli 1997. FOZ dideklarasikan 11 lembaga,
seperti Dompet Dhuafa Republika, Bank Bumi
Daya, dan Pertamina Fungsi Forum itu sebagai
forum konsultatif dan kordinatif antar pengelola
zakat, dan mensinergikan kekuatan antar pengelola
zakat, baik yang dibentuk pemerintah, maupun
masyarakat.
Seiring dengan kiprah lembaga-lembaga pengelola
zakat, khususnya melalui Forum Zakat, pemerintah
juga semakin menyadari, sudah saatnya dibuat
edisi ke2 new size.indd 15 5/6/2008 3:08:38 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n ai 16
Laporan Utama
instrumen regulasi zakat di Indonesia. Melalui komitmen bersama
berbagai pihak di Indonesia termasuk legislatif, maka pada akhir
pemerintahan Presiden BJ. Habibie disahkan UU tentang Pengelolaan
Zakat pada 23 September 1999.
Dampak dari itu, berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
sebagai lembaga pengelola zakat tingkat nasional yang dinisbahkan
dapat melakukan peran kordinatif di antara lembaga pengelola zakat.
Sayangnya, fungsi BAZNAS tampaknya
belum berjalan secara optimal.
Fungsi kordinatif BAZNAS sesungguhnya diperlukan dan menentukan
kerjasama pelaku zakat di Indonesia. Namun dalam perkembangannya
peran ini masih memerlukan berbagai prasyarat pendukung sehingga
bisa mencapai kondisi yang optimal.
Kepengurusan BAZNAS dilahirkan melalui Surat Keputusan Presiden,
akan tetapi perannya masih terbatas. Kondisi ini masih terjadi karena
masih belum jelasnya posisi dan kedudukan BAZNAS; apakah
BAZNAS merupakan badan negara non-departemen setingkat
kementerian negara ataukah BAZNAS lembaga dalam naungan dan
di bawah pembinaan Departemen Agama.
Juga karena BAZNAS yang diharapkan memiliki peran besar dalam
pengelolaan zakat secara nasional, akan tetapi belum mendapatkan
dukungan dana dari APBN yang memadai. Pada masa depan hal ini
harus semakin diperjelas dan ditegaskan.
Pada Oktober 2006 sudah berdiri satu BAZ tingkat Nasional
(BAZNAS), 32 BAZ tingkat provinsi dan tidak kurang dari 330 BAZ
Kabupaten/Kota. Sedangkan LAZ yang sudah dikukuhkan berjumlah
18 LAZNAS.
Semakin banyaknya organisasi pengelola zakat di Indonesia
menciptakan suasana pengamalan zakat yang bergairah dan semarak.
Bagaimana hubungan zakat dan pajak?
UU Pengelolaan Zakat menegaskan berlakunya pembayaran zakat
sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Meskipun belum memenuhi
harapan utama umat Islam, yaitu zakat sebagai pengurang pajak, akan
tetapi akomodasi pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak merupakan bentuk motivasi dan pengakuan sehingga umat
diharapkan lebih terdorong untuk membayarkan zakatnya melalui
lembaga pengelola zakat formal.
Hanya saja, pelaksanaan zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak, masih menghadapi kendala, antara lain, masih banyak
masyarakat muslim selaku wajib pajak belum mengetahui tentang
adanya peraturan perundang-undangan ini, sebagian aparat pajak
yang juga belum mengetahui bagaimanakah prosedur pelaksanaan
zakat sebagai pengurang pajak dan penggunaan Bukti Setor Zakat dan
pengaturan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWZ) yang belum merata.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta
tahun 2003 – 2004 yang meneliti potensi dan sosial umat Islam.
Dalam riset terhadap 1500 keluarga muslim yang dipilih secara acak
(probability sampling) dan 300 organisasi filantropi (LAZIS, BAZIS dan
kepanitiaan masjid) yang seluruh sampelnya dipilih dengan metoda
purposif (non probability sampling).
Riset mencatat, potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah
yang mungkin dapat digali mencapai Rp19.3 triliun per tahun. Angka
ini diperoleh dari rata-rata sumbangan keluarga muslim per tahun
sebesar Rp 409.267 dalam bentuk tunai (cash) dan Rp 148.200 dalam
bentuk barang (in kind). Jika jumlah rata-rata sumbangan dikalikan
dengan jumlah keluarga muslim, sebesar 34,5 juta (data BPS tahun
2000), maka total dana yang dapat dikumpulkan Rp 14,2 triliun.
Sementara total sumbangan dalam bentuk barang sebesar Rp 5,1
triliun.
Kembali ke soal pembahasan aturan
akuntansi zakat.
Apa yang menjadi pro kontra?
Dalam perjalanan pembahasan akuntansi zakat banyak persoalan
yang menjadi fokus perdebatan di kalangan anggota tim kerja, yang
memerlukan diskusi lebih lanjut diantaranya, zakat atas perkumpulan
harta (entitas), Cara perhitungan zakat untuk wajib zakat entitas
(perusahaan).
Dari perspektif akuntansi, zakat yang dihitung berdasarkan dua
pendekatan itu mempunyai beberapa aspek yang harus dipertimbangkan
yakni berdasarkan asset neto. Di sini akan menimbulkan kesulitan
dalam menghitung asset neto, dengan semakin banyaknya intangible
asset yang tidak tercatat di dalam neraca. Misalnya, perusahaan yang
bergerak di bidang computer software, zakat yang dikenakan akan
lebih kecil dibandingkan perusahaan tekstil, walaupun kemungkinan
besar keuntungan yang dihasilkan perusahaan computer software akan
lebih besar daripada perusahaan tekstil dan berdasarkan keuntungan
neto; dinilai lebih cocok, karena perusahaan yang menghasilkan
keuntungan yang besar akan dikenakan zakat yang lebih besar, tanpa
memperhatikan besaran aset neto yang dimiliki perusahaan tersebut.
***(MY)
Daftar Lembaga Amil Zakat Nasional (Oktober 2006)
1 Dompet Dhuafa Republika
2 Pos Keadilan Peduli Umat,
3 Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya,
4 Baitul Mal Hidayatullah
5 Baitul Mal Muamalat
6 BSM Peduli Umat
7 Baitul Mal BRI
8 BAMUIS BNI
9 LAZIS Dewan Dakwah Islam Indonesia
10 LAZIS Muhammadiyah
11 BAZMA Pertamina
12 Rumah Zakat Indonesia
13 LAZ Persis
14 LAZ ICMI
15 DPU Daarut Tauhid
16 LAZ Amanah Takaful
17 LAZ Nahdhatul Ulama
18 LAZ IPHI
Sumber : Forum Zakat, 2006
No comments:
Post a Comment